Pelukis Surealis, Salvador Dalí mungkin hanyalah sebagian kecil dari beberapa kasus tersebut. Mayatnya baru-baru ini telah digali untuk diuji garis keturunannya, memasukannya ke dalam daftar mengejutkan orang-orang terkenal yang digali atas nama sains.
Dari beberapa tokoh terkemuka ini, beberapa dari mereka dianggap telah dibunuh atau bunuh diri. Sisanya, meninggalkan ahli waris yang belum terbukti. Terkadang pula, pihak berwenang hanya ingin memastikan mereka benar-benar meninggal atau tidak.
Kini, teknologi semakin maju dan pengujian DNA dapat dilakukan. Uji DNA pun dilakukan dalam kasus Daly, wanita Spanyol yang mengaku sebagai putri Salvador Dalí, sesuai perintah hakim pada akhir Juni lalu.
Daly Foundation berencana untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut. Namun, jika penggalangan dana untuk melakukan uji DNA tetap dilakukan, masih ada cukup banyak DNA yang akan didapat, selama dikumpulkan dari tempat yang tepat.
Dalí meninggal pada tahun 1989, sedangkan DNA akan menurun segera setelah kematian. Oleh karena itu, para imuwan mencari kantong yang akan ditempatkan di rambut, gigi geraham, dan tulang petrosa di dekat telinga bagian dalam. Penguji forensik akan melihat beberapa tempat tersebut sebagai bukti pendukung atau pembantah klaim Daly sebagai keturunan Dalí.
Berikut adalah beberapa kasus penggalian para tokoh terkenal yang lebih menggemparkan dan menarik, bersamaan dengan hikmah yang dapat diambil dari pengujian ilmiah tersebut.
Salah makam
Bahkan jenazah orang terkenal bisa salah tempat. Astronom Nicolaus Copernicus meninggal pada tahun 1542, sesaat setelah menyelesaikan buku catatannya mengenai matahari sebagai pusat alam semesta. Dia dimakamkan di Katedral Frombork, Polandia. Meskipun ia terkenal saat itu, makamnya tidak ditandai dengan jelas.
Selama dua abad, para arkeolog tidak berhasil menemukan mayatnya. Akhirnya, pada tahun 2005, pemindaian di bawah katedral berhasil dilakukan. Mereka menemukan sisa-sisa manusia yang tampak seperti Copernicus. Laboratorium Forensik Pusat Polisi Polandia pun menggunakan tengkoraknya untuk merekonstruksi wajah yang sangat mirip dengan sang astronom.
Para ilmuwan juga menemukan DNA dari jenazah. Namun, pada saat itu, tidak ada keturunan Copernicus yang dapat ditemukan untuk mengonfirmasi identitas DNA tersebut.
Penyelidikan pun membuahkan hasil. Akhirnya, seorang pustakawan menemukan beberapa rambut di dalam buku kalender yang dimiliki oleh astronom tersebut. Uji genetik mengkonfirmasi adanya kecocokan DNA dengan jasadnya, dan Copernicus dikubur kembali dengan batu nisan baru yang ditandai dengan jelas.
Hidup atau mati
Pihak yang berwenang telah menggali beberapa tokoh sejarah yang terkenal untuk memastikan mereka benar-benar mati atau memalsukan kematiannya untuk menghindari hukum.
Menurut catatan sejarah, John Wilkes Booth—pembunuh Abraham Lincoln—terpojokkan di sebuah gudang dan mati ditembak pada tahun 1865. Selama empat tahun berikutnya, jasadnya digali dan diperiksa dua kali. Kedua kalinya, identitasnya pun terkonfirmasi.
Namun, hal yang menggemparkan terjadi pada tahun 1907. Seorang pengacara bernama Finis Bates mengatakan bahwa Booth masih hidup dan bukanlah orang yang tertembak.
Ia memiliki identitas “John St. Helens” dan mengakui identitas aslinya kepada Bates sebelum melakukan bunuh diri pada tahun 1903. Mayat Booth kemudian dimumikan dan dimasukkan ke dalam tur nasional sebagai “orang yang menembak Lincoln”.
Untuk memperjelas permasalahan ini, para kerabat Booth mendapat izin untuk menggali kembali saudara laki-laki Booth, Edwin. Mereka berharap untuk dapat membandingkan DNA keduanya dengan yang ada di tulang belakang yang dikumpulkan selama autopsi 1865 dan disimpan di Museum Nasional Kesehatan dan Kedokteran di Maryland.
Namun, museum tersebut menolak menyerahkan tulang-tulang Booth yang akan rusak akibat uji DNA. Pengadilan juga menolak semua usaha untuk menggali lagi jasad Booth.
Presiden yang diracun
Setelah presiden Amerika Serikat ke-12, Zachary Taylor, meninggal secara tiba-tiba, berbagai spekulasi pun bermunculan. Beberapa dokter menganggap Taylor terkena kolera, ada pula yang menduga ia terkena sengatan panas.
Namun, sejarawan Clara Rising berkata lain. Ia mengatakan bahwa Taylor adalah presiden pertama yang dibunuh dengan racun arsenik, karena penentangannya terhadap perbudakan kala itu telah meluas ke arah barat.
Rising mendapat pesanan untuk menggali jasad Taylor pada tahun 1991. Laboratorium Nasional Oak Ridge melakukan uji aktivasi neutron untuk mendeteksi arsenik. Menurut para ilmuwan, meskipun beberapa indikasi arsenik ditemukan, unsur tersebut sama sekali tidak mematikan.
Tim medis Kentucky menganalisis sisa-sisa jasad Taylor dan mengungkapkan bahwa kemungkinan besar ia meninggal karena gastroenteritis, infeksi yang sering disebabkan oleh bakteri atau virus dalam makanan atau minuman yang terkontaminasi. Catatan sejarah menunjukkan, presiden telah menikmati ceri segar dan susu dingin sebelum kematiannya.
Simak kisah penggalian jasad tokoh lainnya di halaman selanjutnya.
!break!Pembatalan penetapan pembunuh
Pada tahun 1950, tidak ada kasus pembunuhan yang lebih mencengangkan daripada kasus Sam Sheppard. Sheppard adalah dokter terhormat yang telah membunuh istrinya.
Sheppard menjalani hukuman 10 tahun penjara. Kala itu, ia mengatakan bahwa ia berusaha melawan “penyusup berambut lebat” pada malam pembunuhan itu. Kasus ini pun mengilhami sebuah acara televisi dan film berjudul “The Fugitive”.
Persidangan tersebut menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Akhirnya, Mahkamah Agung Amerika Serikat memerintahkan sebuah tuntutan ulang, dan Sheppard pun dibebaskan. Pada saat itu, tes DNA tidak tersedia untuk mengidentifikasi tersangka dari sampel darah di tempat kejadian.
Sheppard meninggal pada tahun 1970. Tujuh tahun kemudian, anaknya meminta penggalian kembali jasad Sheppard untuk memecahkan kebenaran. Akhirnya, terungkap bahwa DNA Sheppard tidak sesuai dengan darah dari tempat kejadian.
Tersangka justru terarah pada Richard Eberling, mantan pembersih jendela yang kemudian dihukum karena membunuh seorang wanita tua yang tidak berhubungan dengan kasus tersebut. Eberling tidak berbulu lebat, tetapi diketahui memakai rambut palsu.
Kasus ini sangat penting dalam peningkatan penggunaan sampel DNA yang tersimpan untuk memecahkan pembunuhan yang telah lama terjadi.
Misteri Evita
Beberapa orang terkenal menjadi lebih terkenal setelah meninggal. Hal ini terjadi pada Eva Peron atau Evita Peron, wanita pertama Argentina yang ikonik, yang meninggal karena kanker pada tahun 1952 di usia 33 tahun.
Jasad Peron yang sudah dibalsem dengan rapi itu dirontgen, kemudian disembunyikan dan dipindahkan selama 20 tahun sebagai bagian dari pertempuran politik yang kontroversial. Setelah bertahun-tahun di Italia, tubuhnya digali dan dibawa kembali ke Argentina. Jasad tersebut akhirnya terbaring di bawah tiga lempeng baja di Buenos Aires.
Penguburan itu masih menimbulkan pertanyaan mengenai Evita. Pada tahun 2012, seorang ahli bedah saraf dan ahli lainnya menerbitkan sebuah laporan. Laporan tersebut berdasarkan pada foto-foto rontgen tua yang menunjukkan bahwa Peron mungkin telah dilobotomi sebelum kematiannya.
Lobotomi, yang memotong koneksi ke korteks prefrontal otak, terkadang dilakukan untuk mengobati gangguan jiwa atau mengatasi penderitaan ekstrim bagi orang yang sekarat. Satu-satunya cara untuk mengetahui dengan pasti apakah Peron dilobotomi adalah dengan membujuknya. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah bisa terjadi.
Gorila dalam Kabut
Uji forensik lebih dari sekedar pengungkap kasus kriminal, tetapi juga digunakan sebagai sumber pembelajaran mengenai alam.
Beberapa hewan paling terkenal yang digali untuk tujuan ini adalah gorila yang dipelajari oleh Penjelajah National Geographic, Dian Fossey, pada tahun 1970an. Fossey meneliti kera selama 18 tahun di Rwanda dan dibunuh di sana pada tahun 1985, setelah secara aktif mempertahankan wilayah tersebut melawan para pemburu.
Kini, beberapa gorila yang ia amati telah ditemukan untuk dipelajari lebih lanjut. Dikombinasikan dengan data Fossey dan catatan rinci para ilmuwan lainnya, kerangka tersebut memberikan pandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang bagaimana perubahan lingkungan atau kelompok sosial mempengaruhi kesehatan dan perkembangan gorila.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR