Nationalgeographic.co.id—Seorang penduduk desa menemukan tubuh orangutan tanpa kepala yang membengkak mengambang di sebuah sungai di provinsi Kalimantan Tengah pada awal 2018. Orangutan kalimantan itu telah ditembak 17 kali dengan pistol pelet, beberapa tulang rusuknya patah, dan kepalanya telah dipenggal dengan parang.
Dua petani karet, yang mengaku bertindak membela diri, ditangkap dan dihukum karena pembunuhan ilegal. Mereka divonis enam bulan penjara dan denda 500 ribu rupiah.
Hukuman itu tidak mendekati hukuman maksimum yang dimungkinkan. Sebab, kejahatan terkait orangutan "dipandang sebagai bukan masalah dibandingkan dengan kejahatan lingkungan [dan] hutan lainnya yang ditangani oleh pemerintah (Indonesia)," kata Taylor Tench, analis kebijakan untuk Badan Investigasi Lingkungan (EIA) yang berbasis di Amerika Serikat.
Memang, menurut laporan tahun 2020 oleh kelompok konsultan ilmiah Borneo Futures dan organisasi nirlaba konservasi Wildlife Impact, kurang dari satu persen kejahatan terkait orangutan yang dilaporkan berakhir dengan hukuman.
Alasannya sederhana, kata Vincent Nijman dari Oxford Brookes University di Inggris yang telah mempelajari perdagangan orangutan: Pemerintah Indonesia, seperti negara-negara lain di seluruh dunia, telah memutuskan bahwa "satwa liar tidak termasuk dalam daftar teratas" dari daftar prioritas mereka.
"Sangat penting bahwa pelanggar hukum diadili secara maksimal," kata Nijman sebagaimana dilansir National Geographic. Dan jika itu tidak terjadi, para konservasionis "harus mulai membuat keributan."
Baca Juga: Keadilan untuk Orangutan: Hukuman Selalu Ringan dan Kehilangan Habitat
Ketiga spesies orangutan di Indonesia, yakni orangutan kalimantan, orangutan sumatra, dan orangutan tapanuli, sangat terancam punah. Jumlah orangutan kalimantan turun dari hampir 300.000 ekor pada 1970-an menjadi 55.000 ekor pada 2016. Adapun orangutan sumatra kini berjumlah sekitar 13.800. Sementara itu kurang dari 800 orangutan tapanuli, yang diidentifikasi sebagai spesies terpisah pada tahun 2017, bertahan hingga hari ini, menurut International Union for Conservation of Nature.
Menurut Tench, para pejabat Indonesia telah "beralih ke industri dan keuntungan," sehingga memungkinkan habitat orangutan dibuka untuk penebangan dan perkebunan kelapa sawit skala industri. Hampir dua juta hektare habitat telah dihancurkan di Indonesia sejak 2016, menurut laporan EIA pada Oktober 2021.
Kebakaran hutan juga merusak hutan. Hal ini terkadang membuat orangutan masuk ke wilayah yang dihuni manusia.
EIA memperkirakan bahwa lebih dari 2.000 orangutan diburu setiap tahunnya, baik karena manusia ketakutan dengan keberadaan orang utan, olahraga berburu, atau untuk mengambil dagingnya. Selain itu, bayi-bayi orang utan yatim piatu sering dijual ke perdagangan hewan peliharaan.
Penegakan hukum konservasi Indonesia, yang melarang penangkapan, perbuatan melukai, pengangkutan, atau perdagangan orangutan dan spesies-spesies yang dilindungi lainnya, biasanya menjadi tanggung jawab polisi setempat dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelanggaran dapat dihukum hingga lima tahun penjara dan denda 100 juta rupiah.
"Secara teori, orangutan sangat dilindungi di Indonesia," kata Nijman. "Ada undang-undang yang bagus untuk itu." Tetapi inflasi telah menurunkan nilai denda maksimum menjadi jumlah yang tidak signifikan, katanya. Nilai kurs 100 juta rupiah dulunya jauh lebih berharga. Namun kini "denda itu tidak lagi benar-benar mencerminkan keseriusan kejahatan."
Selama 30 tahun hukum konservasi Indonesia berlaku, tidak ada yang menjalani hukuman maksimal karena memperdagangkan, memiliki, atau membunuh orangutan secara ilegal. Pihak berwenang menyita 440 orangutan dari perdagangan hewan peliharaan antara 1993 dan 2016, tetapi hanya tujuh kasus yang berujung pada penuntutan.
Sebagian besar hukuman melibatkan waktu penjara kurang dari delapan bulan, dan hukuman maksimum yang dijatuhkan adalah 2,5 tahun, menurut penelitian Nijman.
"Satu-satunya saat Anda benar-benar melihat tindakan penegakan hukum yang serius untuk pembunuhan orangutan adalah jika kasus tertentu sangat kejam dan beberapa foto menarik tentang orangutan yang terluka dirilis yang kemudian menjadi berita utama media internasional," kata Tench. Jika tidak, "itu akan luput dari perhatian."
Tidak jelas mengapa orangutan tampaknya menjadi prioritas rendah pemerintah untuk perlindungan, kata Julie Sherman, direktur eksekutif Wildlife Impact, sebuah lembaga nonprofit konservasi yang berbasis di AS. Analisis strategi konservasi menunjukkan bahwa melindungi dan berpatroli di habitat orangutan adalah cara paling efektif untuk menyelamatkan spesies, menurut makalah November 2021 yang ditulisnya bersama.
Antara tahun 2005 dan 2014, pihak berwenang Indonesia melakukan 619 investigasi terhadap perburuan harimau dan menghukum lebih dari 90 persen tersangka pemburu dan pedagang. "Jadi sumber daya tampaknya ada di sana” tetapi “orangutan tampaknya tidak mendapat perhatian yang sama," ujar Sherman.
"Mengapa?" dia melemparkan pertanyaan retoris. "Kami ingin tahu."
Baca Juga: Menjaga Habitat, Cara Terbaik Lindungi Orangutan dari Kepunahan
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR