Pada tahun 1945, Amerika Serikat menjatuhkan dua bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyerah tak lama setelah itu, dan Perang Dunia II berakhir dalam waktu sebulan. Belum pernah ada senjata sedahsyat itu yang telah dilepaskan sebelumnya.
Satu dekade kemudian, Peace Memorial Park and Museum dibuka di tempat yang pernah menjadi distrik komersial dan residensial tersibuk di Hiroshima. Sejak saat itu, pariwisata terus-menerus meningkat. "Pariwisata kelam"—wisata untuk menyaksikan sisa-sisa bencana, kekerasan, atau perang—menarik kerumunan orang untuk berkunjung ke Hiroshima setiap tahunnya. Hampir dua juta orang berkunjung pada 2016, dan jumlah itu diharapkan terus bertumbuh pada 2017.
Memperingati masa lalu
Hiroshima mengabadikan kenangan serangan nuklir pertama di dunia melalui tugu-tugu peringatan, testimoni saksi mata, dan upacara peringatan tahunan.
Setiap tahun, ribuan orang berkumpul pada pukul 8.15 AM, tanggal 6 Agustus, momen saat bom meledak, untuk memukul lonceng perdamaian. Pada sore di hari yang sama, orang-orang menyalakan lilin di upacara Toro Nagashi, atau Aliran Lentera. Kertas warna-warni bercahaya menerangi perairan yang sama dengan tempat para korban luka dan sekarat, berlayar menuju kebebasan. Masing-masing menyimbolkan jiwa yang hilang pada hari itu, dan lebih dari 80.000 lentera dinyalakan setiap tahun.
Monumen di seluruh kota memberi penghormatan kepada kehidupan yang hilang dalam ledakan tersebut dan sesudahnya. Ada patung-patung yang diperuntukkan untuk 20.000 warga Korea yang terbunuh, dan Monumen Perdamaian Anak yang menghormati Sadako Sasaki, seorang korban muda yang meninggal pasca ledakan akibat leukimia. Bahkan, ada beberapa plakat yang diperuntukkan bagi tawanan perang Amerika yang tewas. Semua simbol-simbol di Hiroshima menyampaikan pesan serupa. Seperti yang tertulis di prasasti monumen Peace Memorial Park: Beristirahatlah dalam Damai, karena kesalahan tidak boleh diulang.
Testimoni penyintas
Sementara peringatan tahunan menjadi waktu tersibuk dalam setahun, ribuan orang mengunjungi kota tersebut setiap harinya untuk mempelajari efek bom atom, dan bergabung dengan orang-orang seperti Kosei Mito dan rekan-rekan relawan tak resmi di monumen tersebut. Mereka menempatkan diri di kubah bom atom ikonik, satu-satunya bangunan yang tersisa berdiri di tengah ledakan. Pernah menjadi aula promosi industri distrik ini, sisa-sisa kerangka bangunan yang telah didaulat sebagai situs Warisan Dunia UNESCO tersebut kini menjadi salah satu peringatan nuklir yang paling produktif.
Mito berada di rahim ibunya saat ledakan terjadi, yang membuatnya menjadi Hibakusha—istilah Jepang yang digunakan untuk menggambarkan penyintas bom. Menurut catatannya, ia memimpin 28.000 wisatawan pada 2016. Ia mengatakan bahwa ia mengamati masuknya wistawan Amerika—sebanyak 1.600 orang hanya dalam rentang waktu enam bulan—menunjukkan minat internasional yang meningkat.
Keiko Ogura merupakan Hibakusha lain yang memimpin Hiroshima Interpreters for Peace, dan menjadikan itu sebagai misinya untuk mengedukasi para pengunjung internasional. Ogura berusia delapan tahun ketika bom itu meledak, tetapi ia masih menanggung apa yang ia sebut sebagai "luka tak terlihat".
Hiroshima telah terhindar dari pemboman keseluruhan perang, tetapi serangkaian peringatan serangan udara pada malam sebelum jatuhnya bom atom, membuat ayah Ogura gelisah. Ogura selamat dari tragedi itu karena ayahnya menempatkan dia di rumah dan tak pergi sekolah pada hari itu. Ogura kini melatih para penyintas lain untuk menyampaikan kisah-kisah mereka dalam bahasa Inggris, dan berpartisipasi dalam sesi testimoni terbuka yang dihelat di museum setiap tahun.
Menyebar ke seluruh dunia
Berkat berbagai organisasi, kisah-kisah ini terus menyebar ke seluruh dunia. Misalnya, Clifton Truman Daniel, cucu Presiden Harry D. Truman—orang yang memerintahkan serangan bom atom, bekerja dengan Hibakusha Stories. Organisasi nonprofit ini membawa para penyintas bencana bom atom bersama keturunannya ke sekolah-sekolah di Kota New York. Daniel merupakan anggota keluarga Truman pertama yang mengunjungi Jepang ketika ia diundang oleh keluarga Sadako Sasaki.
Sadako dan kakak laki-lakinya, Masahiro, tinggal dalam jarak kurang dari dua kilometer dari pusat ledakan bom. Masahiro kala itu berusia empat tahun, tetapi ia mengingat bagaimana ia dan adiknya melarikan diri dari puing-puing rumahnya dan berperahu melintasi sungai yang penuh dengan mayat. Sepuluh tahun kemudian, Sadako, seperti banyak anak lain yang terpapar radiasi, menderita leukimia.
"Dia menolak obat-obatan karena itu terlalu mahal dan keluarga kami menghadapi hutang yang terus bertambah," kata Masahiro. "Dia tidak pernah mengeluh. Dia justru memfokuskan diri pada bangau-bangau kertas mungil. Dia melipat lebih dari seribu bangau kertas."
Menurut legenda Jepang, melakukan hal tersebut dapat membuat harapan kita dikabulkan. Patung Sadako kini berdiri di Hiroshima Peace Park, dan banyak orang-orang yang meninggalkan bangau-bangau kertas sebagai simbol perdamaian.
Masahiro dan putranya, Yuji, ingin memanfaatkan kisah Sadako untuk menyebarkan pesan perdamaian dan rekonsiliasi kepada dunia. Selain mempromosikan pertukaran dialog antara orang-orang yang menentang sisi perang, mereka telah menyumbangkan bangau-bangau kertas asli milik Sadako ke seluruh penjuru dunia. Bangau-bangau kertas Sadako kini ada di Arizona Memorial di Pearl Harbor, Truman Library di Missouri, The Peace Library di Austria, dan kota Sao Paulo, Brazil.
Catatan tambahan:
Ari Beser, penulis kisah ini, merupakan pembuat film sekaligus penulis The Nuclear Family. Ia memanfaatkan Fulbright-National Geographic Digital Storytelling Fellowship (2015-2016) untuk memberi suara kepada ratusan ribu orang yang terkena dampak langsung teknologi nuklir saat ini. Ia merupakan cucu dari Letnan Jacob Beser, satu-satunya orang Amerika Serikat yang berada di dalam pesawat B-29 yang menjatuhkan bom atom di Jepang selama Perang Dunia II.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR