Sadako dan kakak laki-lakinya, Masahiro, tinggal dalam jarak kurang dari dua kilometer dari pusat ledakan bom. Masahiro kala itu berusia empat tahun, tetapi ia mengingat bagaimana ia dan adiknya melarikan diri dari puing-puing rumahnya dan berperahu melintasi sungai yang penuh dengan mayat. Sepuluh tahun kemudian, Sadako, seperti banyak anak lain yang terpapar radiasi, menderita leukimia.
"Dia menolak obat-obatan karena itu terlalu mahal dan keluarga kami menghadapi hutang yang terus bertambah," kata Masahiro. "Dia tidak pernah mengeluh. Dia justru memfokuskan diri pada bangau-bangau kertas mungil. Dia melipat lebih dari seribu bangau kertas."
Menurut legenda Jepang, melakukan hal tersebut dapat membuat harapan kita dikabulkan. Patung Sadako kini berdiri di Hiroshima Peace Park, dan banyak orang-orang yang meninggalkan bangau-bangau kertas sebagai simbol perdamaian.
Masahiro dan putranya, Yuji, ingin memanfaatkan kisah Sadako untuk menyebarkan pesan perdamaian dan rekonsiliasi kepada dunia. Selain mempromosikan pertukaran dialog antara orang-orang yang menentang sisi perang, mereka telah menyumbangkan bangau-bangau kertas asli milik Sadako ke seluruh penjuru dunia. Bangau-bangau kertas Sadako kini ada di Arizona Memorial di Pearl Harbor, Truman Library di Missouri, The Peace Library di Austria, dan kota Sao Paulo, Brazil.
Catatan tambahan:
Ari Beser, penulis kisah ini, merupakan pembuat film sekaligus penulis The Nuclear Family. Ia memanfaatkan Fulbright-National Geographic Digital Storytelling Fellowship (2015-2016) untuk memberi suara kepada ratusan ribu orang yang terkena dampak langsung teknologi nuklir saat ini. Ia merupakan cucu dari Letnan Jacob Beser, satu-satunya orang Amerika Serikat yang berada di dalam pesawat B-29 yang menjatuhkan bom atom di Jepang selama Perang Dunia II.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR