Empat sungai di Indonesia—Brantas, Bengawan Solo, Serayu, dan Progo—termasuk 20 yang terkotor sedunia. Fakta itu berdasarkan hitungan metrik ton sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik.
Ini menjadikan Indonesia pengotor laut dari sampah plastik terbesar kedua di dunia sesudah Cina. Artikel ilmiah di Nature baru-baru ini memperkirakan antara 1,15 hingga 1,41 juta ton plastik dari sungai memasuki lautan tiap tahun. Dari jumlah ini, Indonesia diperkirakan membuang sekitar 200.000 ton plastik dari sungai-sungai dan kali, terutama di Jawa dan Sumatra.
Sampah plastik dapat membunuh binatang laut. Makhluk-makhluk tersebut dapat terperangkap jaring ikan atau mati kelaparan sesudah memakan partikel yang tidak dapat diserap tubuhnya. Plastik yang mulai terurai mengeluarkan zat kimia berbahaya dan mencemari laut, menyebabkan risiko kesehatan pada binatang-binatang dan juga dapat memasuki rantai makanan dan berakhir di piring kita.
Plastik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Banyak warga menggunakan plastik sekali pakai seperti kantong plastik, gelas, sedotan, botol, dan alat-alat lainnya.
Pada Februari 2016 pemerintah mencoba mengurangi penggunaan plastik melalui program kantong plastik berbayar seharga Rp 200, bekerja sama dengan peritel modern. Namun pemerhati lingkungan menyayangkan kecilnya harga plastik tersebut. Mereka juga merasa perlu ada transparansi tentang bagaimana dana yang terkumpul digunakan. Bulan Oktober 2016, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memutuskan menghentikan program dengan alasan ketiadaan payung hukum untuk pelaksanaan di lapangan.
Perlu pengelolaan sampah darat yang lebih baik
Untuk menghentikan pencemaran laut oleh sampah plastik oleh Indonesia, pengelolaan sampah di daratan perlu diubah.
Penelitian di Nature menunjukkan bahwa “sumber dari daratan, bukan sumber dari laut, yang dianggap sumber utama masuknya plastik ke lautan”. Ini termasuk sampah plastik—rumah tangga dan komersial—yang secara sengaja maupun tidak sengaja dibuang ke laut.
Di Konferensi Kelautan PBB yang pertama Juni lalu, Indonesia berkomitmen mengurangi 70% sampah plastik pada 2025. Ini Konferensi PBB pertama di dunia dengan fokus sumber daya laut yang berkelanjutan.
Janji semacam ini suatu langkah yang baik menuju perubahan kebijakan. Namun beberapa pemerhati lingkungan dan cendekiawan meragukan efektivitas pemerintahan saat ini dalam mencapai perubahan. Sejauh ini dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah tidak terdapat rujukan khusus mengenai sampah plastik.
Mengapa harus disebut khusus di Undang-undang?
Sebagai awalan, kita perlu membahas definisi mendasar soal plastik. Plastik yang bisa terurai, plastik yang bisa didaur ulang, plastik yang bisa terurai secara biologis, dan alternatif dari plastik yang bisa menghasilkan kompos, semuanya berbeda satu sama lain. Dan perbedaan ini penting untuk diketahui.
Banyak orang salah paham mengenai plastik yang disebut-sebut bisa terurai. Sesungguhnya, plastik jenis ini ketika mulai hancur menyalurkan zat kimia berbahaya yang bisa masuk ke dalam rantai makanan dan membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia.
Aturan yang lebih ketat dapat membatasi penggunaan plastik, menetapkan standar untuk mengurangi limbah dalam proses pengemasan dan mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab terhadap pembuangan limbah. Aturan yang lebih ketat juga dapat mengatur kewajiban-kewajiban mengenai penggunaan ulang, daur ulang, dan pembuangan.
Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah menyatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memegang tanggung jawab bersama atas sampah. Namun undang-undang tersebut tidak menjelaskan siapa melakukan apa.
Pemerintah pusat memiliki kekuasaan untuk menetapkan strategi dan kebijakan nasional. Pemerintah pusat adalah tingkat pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk menetapkan “norma, standar, prosedur, dan kriteria” (pasal 7).
Pemerintah pusat juga berwenang untuk menciptakan insentif dan disinsentif untuk mengurangi sampah (pasal 21). Namun, tidak jelas apakah pemerintah daerah dapat melakukan hal yang sama.
Pada Desember 2014, Gubernur Bali mengumumkan pulau tersebut akan “bebas plastik pada 2018”. Namun tindak lanjut inisiatif ini berjalan lambat. Penyebabnya sebagian karena ada kebingungan level pemerintahan mana yang harus bergerak terlebih dahulu. Sejauh ini, pemerintah pusat terlihat enggan memimpin usaha ini.
Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengizinkan pemerintah provinsi untuk menciptakan insentif dan disinsentif yang sama seperti pajak lingkungan, retribusi, dan subsidi. Sayangnya, pemerintah daerah masih menunggu sinyal dari pemerintah pusat untuk bergerak.
Kebijakan saat ini
Pemerintah Indonesia sedang menyusun sebuah program untuk manajemen limbah dari darat dalam kurun waktu empat tahun. Dana hingga Rp 13,3 triliun (atau US$1 miliar) disebut-sebut disiapkan untuk mengurangi limbah plastik. Seperti apa bentuk program tersebut belum jelas.
Sejumlah LSM, individu, juga organisasi publik dan komersial di Indonesia telah melakukan usaha-usaha untuk mengurangi limbah plastik melalui pendidikan untuk anak sekolah, kegiatan membersihkan pantai, dan advokasi manajemen limbah yang lebih baik.
Di Indonesia, Bali adalah salah satu daerah yang aktif mendorong pengelolaan sampah plastik yang baik. Penyebabnya mungkin karena keindahan alam dan status Bali sebagai tujuan wisata internasional terancam pengelolaan sampah yang buruk.
Lima belas pemerintahan kota, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Medan, direncanakan mulai terlibat mengelola sampah plastik.
Sebelas kementerian, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah menyetujui sebuah Rencana Aksi Nasional, untuk mengatasi plastik di laut yang akan dimulai 2017.
Dalam rencana aksi ini ada kegiatan-kegiatan untuk mengubah perilaku melalui pendidikan dan peningkatan kesadaran, pembatasan penggunaan plastik, pengelolaan limbah yang lebih baik, dan mekanisme pembiayaan.
Lebih dari kesadaran dan pendidikan
Kesadaran masyarakat mengenai bahaya sampah plastik yang dikelola dengan buruk sangatlah penting. Namun ini tidak cukup untuk benar-benar mengurangi ketergantungan pada penggunaan plastik sekali pakai.
Untuk memenangi perang terhadap limbah plastik, pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat kerangka hukum.
Perlu ada definisi-definisi yang bisa dipakai secara nasional untuk membedakan berbagai jenis plastik. Perlu ada kejelasan mengenai tanggung jawab di setiap tingkat pemerintahan dan pembuatan norma-norma baru, standar, prosedur, dan kriteria.
Pemerintah harus melakukan pendekatan multilevel yang melibatkan komunitas yang terdampak. Mereka yang merasakan dampak dari limbah plastik hidup dalam keadaan genting sehari-harinya dan mereka membutuhkan penanganan cepat.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR