Pemerintah Korea Utara selama beberapa dekade telah mengandalkan perdagangan gelap untuk mendapatkan uang, namun sebuah laporan baru mencatat adanya peningkatan perdagangan satwa liar dari negara-negara Afrika oleh Pyongyang.
Ulasan dari Global Initiative against Transnational Organized Crime memperingatkan perdagangan tersebut memperparah tekanan pada populasi badak dan gajah yang terancam punah di benua tersebut.
Korea Utara semakin terjepit oleh sanksi-sanksi internasional yang diberlakukan untuk menghentikan program senjata nuklir dan rudal balistiknya. Negara yang terisolasi itu telah lama menemukan cara kreatif untuk mendatangkan uang tunai, seringkali melalui penyelundupan dengan kedok diplomatik.
(Baca juga: Apapun Alasannya, Penjualan Cula Badak Dianggap Ilegal)
Namun satu sumber pendapatan gelap itu memukul kelompok yang sangat rentan, gajah dan badak Afrika, yang menjadi sasaran pemburu untuk memenuhi permintaan pasar cula badak dan gading di Asia.
Pada tahun 2015, Afrika Selatan mengusir seorang diplomat Korea Utara yang ditangkap di Mozambik dengan 4,5 kilogram cula badak dan uang tunai $ 100.000. Kejadian itu bukan satu-satunya.
Menurut laporan baru oleh peneliti Afrika Selatan Julian Rademeyer, 18 dari 31 diplomat yang ditangkap karena menyelundupkan gading dan cula badak selama tiga dekade terakhir adalah warga Korea Utara.
"Saya merasa sangat sulit untuk percaya bahwa mereka beroperasi sepenuhnya sendiri, bahwa mereka tidak direstui oleh rezim atau setidaknya oleh atasan mereka. Kedubes Korea Utara pada dasarnya dikendalikan dengan sangat ketat. Orang tidak mudah dan bebas bergerak," kata Rademeyer.
(Baca juga: Tak Hanya Senjata, Ini Kegunaan Tanduk Bagi Satwa Liar di Afrika)
Sedikitnya 11 negara Afrika memiliki hubungan dagang dengan Korea Utara, sebagian karena negara tersebut sering menawarkan kesepakatan yang menguntungkan untuk mencegah isolasi ekonomi.
Peneliti Zachary Donnenfeld dari Institute for Security Studies yang bermarkas di Pretoria mengatakan banyak negara Afrika enggan memutuskan ikatan tersebut.
"Jika sebuah negara seperti Korea Utara datang dan menawarkan kesepakatan yang cukup baik mengenai minyak bumi yang disuling, misalnya, yang merupakan salah satu ekspor utama mereka ke Afrika, dapat dimengerti bahwa pemerintah Afrika mungkin tidak banyak bertanya tentang dari mana minyak itu datang di tengah semua tekanan besar untuk layanan pengiriman," ujar Donnenfeld.
VOA menghubungi kedutaan Korea Utara di Pretoria untuk mencari tanggapan atas tuduhan dalam laporan tersebut, namun pejabat kedutaan tidak menanggapinya.
Artikel ini sudah pernah tayang pada Voa Indonesia dengan judul Permintaan Korut atas Satwa Liar dari Afrika Meningkat
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR