Mentari di atas langit Cepu bersinar garang. Meski masih dalam satu bagian waktu dengan kota asal keberangkatan, Jakarta, rasanya matahari yang menyirami salah satu wilayah kaya minyak di Jawa Timur ini punya waktunya sendiri. Ia seperti kami yang ingin segera mengawali hari.
Saya bersiap mengikuti rombongan besar tim eksplorasi Pertamina Hulu Energi yang menggelar kegiatan lapangan bertajuk "Unravel Petroleum System of Rembang Zone" yang berlangsung pada 23 – 26 Oktober, di wilayah Cepu, Blora, dan sekitarnya. Mata masih menahan kantuk lantaran kami baru tiba selepas tengah malam di penginapan.
Hari pertama, penjelajahan kami bermula dari situs pertama yang berada di Desa Dowan. Dengan menumpang lima kendaraan roda empat, kami menuju Dowan, melewati Jalan Raya Blora-Cepu dan Jalan Raya Blora-Jepon. Jalan kerap berkelok, juga menemui turunan dan tanjakan.
Begitu lancarnya arus lalu lintas ditambah suasana kegiatan lapangan yang berbau liburan, kami sejenak alpa kalau hari ini adalah Senin. Hari yang biasanya bikin malas orang seantero jagat. Kami pun teringat sewaktu melihat anak-anak sekolah dasar mengenakan seragam putih merah.
Saya mengamati jalanan. Pemandangan kiri-kanan jalur transportasi darat ini didominasi oleh tanaman jati. Rusalida Ragunwati, Senior Manager Exploration Asset Management Non Operator Pertamina Hulu, iseng bertanya kepada Adi Gunawan, Senior Analyst Exploration Asset Management Pertamina Hulu Energi, yang menjadi panitia kegiatan lapangan, "Banyak pohon jati gini, ada makanan yang dibungkus daun jati enggak, Gun?"
"Ada, Bu. Pecel," jawab Adi Gunawan seraya tersenyum.
Lida manggut-manggut tak lagi melempar pertanyaan.
Tak cuma bermanfaat sebagai pembungkus makanan alami, tanaman jati juga memberikan sumber mata pencaharian bagi warga Cepu. Kayunya menjadi bahan dasar furnitur yang digarap oleh warga dengan skala rumahan.
Dalam kegiatan lapangan, ahli geologi dan geofisika mempelajari batuan untuk menyingkap rahasia masa lalu demi waktu mendatang. Salah satu contohnya, di situs batu yang berada di Desa Dowan, Jawa Timur. (Yul Prasetyo)
Menurut Nawawi Luthfi ada yang berbeda dengan kegiatan lapangan yang pernah dilakukan oleh ahli geologi dan geofisika lainnya. Kegiatan ini berpijak pada konsep sederhana: dari kita, untuk kita, oleh kita.
Lelaki yang menjabat sebagai Senior Manager Regional Subsurface Assessment Pertamina Hulu Energi ini membeberkan, semua proses terkait kegiatan ini diatur oleh tim eksplorasi. Sebut saja, mulai dari usulan lokasi tujuan (beserta kesinambungannya dengan visi kegiatan), survei lokasi, waktu keberangkatan, dan sejumlah persiapan teknis lainnya dilakukan oleh internal tim eksplorasi Pertamina Hulu Energi.
Nawawi mengatakan, dengan konsep semacam ini, semua peserta terlibat. "Pintar bersama-sama," ujarnya.
Namun, Nawawi tak menampik, konsep kegiatan ini menyisakan sedikit minus. Bila pengurusan kegiatan diserahkan kepada pihak luar dan mengundang narasumber tamu, maka bisa jadi ada penjelasan lebih banyak dan dalam.
Mengapa begitu? Sebab, narasumber tamu pastinya yang memiliki latar belakang pendidikan dan penelitian terkait situs yang menjadi tempat latihan peserta. Terlebih lagi, jika narasumber itu memiliki karya tulis ilmiah yang telah diakui lewat publikasi. Meski begitu, Nawawi pun mengakui jika mengundang narasumber dari luar, belum tentu semua peserta menyerap pemahaman secara optimal.
Eka Nugraha, Senior Geoscientist Pertamina Hulu Energi, pun menambahkan, jika mengundang narasumber dari luar, bisa jadi hanya sebagian peserta yang benar-benar serius mengikuti pemaparan.
!break!
Di perjalanan, Nawawi juga sedikit berbagi soal eksplorasi minyak di Indonesia. Eksplorasi minyak selalu dibayang-bayangi risiko. Dulu, eksplorasi minyak bisa dibilang lebih "berani" mengambil risiko tadi.
Namun kini, eksplorasi minyak oleh PT Pertamina (persero) sangat diharapkan memiliki persentase kegagalan seminimal mungkin, sehingga bisa dibilang tekanannya cukup tinggi, perhitungan tim eksplorasi harus sangat presisi. Standar yang ketat ini bertujuan untuk mengurangi lost cost yang tinggi.
Di kesempatan lain, Rusalida Ragunwati yang juga tercatat sebagai Presiden Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) 2016 - 2018 ini menjelaskan bahwa harga minyak saat ini berada di tingkat yang bisa dibilang cukup mengkhawatirkan.
Untuk kegiatan lapangan kali ini bekerja sama dengan kawan-kawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Mereka bersedia membantu memfasilitasi alat geofisika berupa alat gravitimeter dan magnetik di tiga situs pada hari pertama kegiatan.
Rusalida mengungkapkan, penggunaan alat geofisika tersebut bertujuan menguatkan data yang dideskripsikan oleh geoscientist dengan spesialisasi geologi. Secara sederhana, geologi mengambil data bebatuan dari permukaan, apa yang dilihat oleh mata langsung, dengan mengacu pada literatur. Sementara itu, geofisika menguatkannya dengan data yang didapatkan dengan alat.
"Jadi, misalnya ini batu jenis tertentu. Dilihat dari geologi, deskripsinya sesuai dengan jenis batuan ini. Nah, geofisika mengukurnya dengan alat, karena setiap batuan punya nilai kemagnetan. Nah, keduanya (geologi dan geofisika) dipadukan, ini bener gak jenis batuan ini," ujar Rusalida.
Menurut Muhammad Nur Januar, mahasiswa Geofisika UGM, dalam konteks pengamatan dasar seperti hari ini, penggunaan alat geofisika untuk mengamati batuan minimal dilakukan tiga kali untuk satu titik, guna mendapatkan hasil yang mendekati sesuai.
Penggunaan alat geofisika ini juga terikat pada waktu pengamatan dan tinggi alat dari bidang tanah. Belum lagi, untuk mendapatkan hasil "akhir", perlu dihitung lagi dengan sejumlah koreksi karena sifat alat yang cukup sensitif terhadap noise di sekitar, seperti getaran, dan pemakaian yang berulang kali, terutama gravitimeter yang mengandung pegas (semakin lentur jika digunakan berulang kali).
Situs Dowan terbilang cukup unik. Batuan yang dijadikan obyek pengamatan berada di tengah jalan dan perumahan warga.
Adi Gunawan menjelaskan bahwa batu besar yang ada di Dowan yang kemunculannya berkaitan dengan aktivitas vulkanik Gunung Muria. Ia menunjuk ke salah satu singkapan dengan permukaan berongga kecil.
Adi menjelaskan, rongga-rongga kecil tersebut terbentuk karena lava pijar yang mengalir mengalami proses pendinginan. Ia menganalogikannya dengan air yang mendidih. Sama seperti lava pijar yang mendidih dan membeku sehingga membentuk batuan berongga seperti yang diamati peserta.
Keberadaan batu besar di tengah jalan dan perumahan itu memang unik. Arieffian Eko Kurniawan, ahli geologi yang menjadi ketua kegiatan, mengatakan, bebatuan tersebut dibiarkan seperti itu karena sangat sulit untuk dihancurkan. Apalagi jika hancur karena pelapukan atau proses alami lainnya, itu akan memakan waktu yang sangat lama.
!break!
Di situs kedua, Paciran, peserta perlu berjalan menanjak sedikit ke obyek pengamatan. Dilihat dari mata awam, bebatuan di situs kedua merupakan batu karang besar.
Rusalida mengungkapkan, situs Paciran merupakan salah satu reservoir yang baik. Namun, pernyataan tersebut perlu diteliti lebih mendalam. Ia menjabarkan bahwa pengamatan bebatuan terbagi menjadi makroskopis dan mikroskopis.
Secara sederhana, pengamatan makroskopis seperti apa yang dilakukan peserta, melihat secara umum. Sementara pengamatan mikroskopis membutuhkan batuan dibawa dan dikaji di laboratorium.
Matahari sudah tepat di atas kepala. Penjelajahan ini haruslah dilanjutkan dengan energi yang cukup. Atas perhitungan Fian yang telah membandingkan sejumlah prakiraan cuaca, sekitar pukul 16.00 WIB daerah tempat bermain kami hari ini akan diguyur hujan ringan. Maka, Arieffian mengatur dengan ketat soal jadwal agar penjelajahan berjalan lancar.
Kami menuju Waduk Panohan untuk makan siang dan memberikan kesempatan bagi yang muslim menunaikan salat. Es kelapa menyambut tenggorakan dan cukup berhasil mendinginkan kepala yang seharian disiram terik matahari. Perpaduannya dengan gula merah pas sekali bagi kami yang mengantisipasi dehidrasi dan butuh asupan energi lebih.
Meski matahari kian menyengat, peserta tak kehilangan semangat. Kami meluncur ke situs terakhir hari itu, area Sungai Gunem. Yang menarik di situs ini, peserta mengamati batuan dengan menggunakan cairan asam klorida.
Rusalida mengatakan, reaksi kimia yang terjadi (berbuih) menunjukkan batuan mengandung mineral karbonat. Hal tadi dijalankan untuk mengetahui litologi situs itu. Menurut KBBI, litologi adalah ilmu tentang batu-batuan yang berkenaan dengan sifat fisik, kimia, dan strukturnya.
Penjelajahan kami pun ditutup dengan semangkok bakso Pak Kumis di Blora yang menyegarkan pikiran setelah seharian asyik berbicara dengan batu.
Bagaimana pun juga, pemaparan yang dilakukan senior atau peserta masih berupa asumsi karena masih ada hari-hari esok untuk membahasnya lebih jauh demi menguak rahasia batu yang sekilas tak berbicara tapi mereka punya sejuta umur dan seribu cerita. Menarik kan?
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR