“Pider”—demikian dia menyebut Kota Pedir—merupakan satu-satunya kota persinggahannya di pesisir timur Sumatra. Varthema mengutip pendapat orang-orang bahwa inilah kota pelabuhan terbaik di pulau ini. Dia juga menunjukkan bahwa warga Pedir membangun rumahnya dengan batu dan banyak rumah di sini yang berlapis karapas. Perawakan warganya kecil, berkulit agak cerah, bermuka lebar dengan hidung pesek, dan bermata bulat dan hijau.
“Dan Anda perlu tahu bahwa mereka merupakan laki-laki paling aktif yang pernah saya jumpai,” ungkap Varthema tentang orang-orang Sumatra. “Mereka juga perenang ulung, dan sungguh ahli dalam membuat senjata api.
Catatan Portugis yang berjejak di kawasan ini pada masa-masa kemudian, tampaknya meneguhkan kesaksian Varthema. Keahlian orang Melayu dalam perkara artileri tampaknya dibawa oleh pengaruh orang-orang Persia, yang mendapat pengetahuan soal senjata api dari orang-orang Kristen.
“Gajah dalam jumlah besar dihasilkan di sini,” ungkap Varthema, “yang terbesar yang pernah saya lihat.” Uang emas, perak, dan timah mereka memiliki sisi yang menampilkan iblis, sementara sisi lainnya menampilkan sesuatu bersama kereta yang ditarik oleh gajah-gajah.
Varthema menggambarkan satu ruas jalan di Pedir menjadi ajang sekitar 500 pedagang uang, yang menunjukkan bahwa sejumlah besar pedagang asing telah meramaikan kota pesisir ini. Mereka tidur beralas kasur dengan seprai sutra dan kain katun. Pulau inimemiliki sumber daya kayu yang melimpah untuk pembuatan kapal. Perdagangan diramaikan oleh komoditi gading, sutera, kemenyan, lada, dan molaga—sejenis cabai.
“Orang-orangnya tidak menyukai perang,” tulis Varthema, “gemar memperhatikan barang dagangan mereka, dan sangat bersahabat dengan orang asing.”
Dia memiliki kesan mendalam tentang Pedir, yang saat itu menurutnya memiliki tiga raja paganisme, dan memiliki kesamaan dengan orang-orang Tanassari (kini Myanmar) perihal gaya hidup, busana, dan kebiasaan lainnya. “Orang-orangnya tidak menyukai perang,” tulisnya, “gemar memperhatikan barang dagangan mereka, dan sangat bersahabat dengan orang asing.”
Varthema mandapati kenyataan bahwa pala dan cengkih tidak tumbuh di sini, melainkan di tempat lain yang harus ditempuh dengan berlayar. Lantaran perahu besar akan berisiko diganggu perompak, mereka berlayar dengan chiampana—sebutan Varthema untuk kapal kecil atau sampan—yang telah dibekali makanan dan buah-buahan untuk bertolak menuju “Bandan”.
“Kami melayari sekitar dua puluh pulau, sebagian dihuni dan lainnya tidak,” catat Varthema. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa mereka melintasi sepanjang pesisir Jawa ke arah timur. Selama 15 hari di lautan, sampailah mereka Banda, satu dari gugusan pulau pala.
Varthema baru saja menunaikan rute penjelajahan yang belum pernah dilayari para pelaut Eropa. Setidaknya, tidak ada catatan perjalanan dari orang Eropa sebelum Varthema tentang rute dan tempat ini.
Banda, menurut catatannya, pulau yang “sangat buruk dan suram [...] Di sini tidak ada raja atau pemerintah, melainkan orang-orang desa yang tampak liar dan sulit mengerti.” Warganya berbusana sehelai kemeja dan menghuni rumah pangung dari pondok-pondok kayu. Namun, dia menambahkan, “Sirkulasi uang di sini seperti layaknya Kalkuta”.
Banda, menurut catatannya, pulau yang “sangat buruk dan suram [...] Di sini tidak ada raja atau pemerintah, melainkan orang-orang desa yang tampak liar dan sulit mengerti.”
“Tak ada yang tumbuh di sini, selain pala dan buah-buahan,” catat Varthema. Pala tumbuh secara spontan, dan menjadi harta semua warga. Setiap orang pun dapat menghimpun pala sebanyak yang dia mau, ungkapnya.
Baca juga: Hampir Setiap Minggu, Bumi Kejatuhan Satelit
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR