Varthema melanjutkan perjalanan selama 12 hari ke pulau penghasil cengkih terkemuka di Kepulauan Rempah ini. “Kita tiba di Pulau Monoch,” demikian dia menyebut Maluku, “yang lebih kecil ketimbang Bandan.”
Tampaknya Varthema menganggap Maluku adalah toponimi sebuah pulau. Tidak jelas benar, di mana dia berlabuh. Namun pernyataannya bahwa pulau ini penghasil cengkih dan lebih kecil daripada Banda, mungkin dia berada di Ternate atau Tidore. “Negeri ini berada begitu rendah,” ungkapnya. Pada kenyataannya memang Maluku bergaris lintang rendah. “Dan, bintang utara tidak tampak dari sini.”
“Kami menjumpai bahwa mereka menjual cengkih dua kali lebih mahal dari pala, sebagai ukurannya, karena mereka tidak mengenal ukuran berat.” Ajaibnya, nilai tukar cengkih terhadap pala relatif tidak berubah sampai hari ini. Di Ternate, pada awal tahun ini, cengkih dijual seharga Rp105 ribu, sementara pala Rp55 ribu per kilogram.
Maluku adalah titik paling timur dalam perjalanannya. Pelayaran berikutnya menuju “Giava” atau Jawa, yang menurut petualang semasa merupakan “pulau terbesar di dunia dan paling kaya, dan Anda akan menyaksikan sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya.” Namun, sebelum berjejak di Jawa, Varthema singgah ke “Bornei”—atau penjelajah Portugis yang datang belakangan menyebutnya Borneo.
Perjalanan menuju Jawa ditempuh selama lima hari. Sang nakhoda, yang kemungkinan orang Melayu, ternyata sudah memiliki kompas dan peta dengan garis melintang dan memanjang. Dia berkata kepada Varthema bahwa di sisi selatan Jawa, terdapat jalur pelayaran menuju pulau lain. “Pulau tersebut memiliki siang hari yang tidak lebih dari empat jam,” ungkap sang nakhoda kepadanya, “dan lebih dingin daripada di bagian dunia lainnya.”
Apabila catatan Varthema benar, ada dua perkara yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Pertama, para pelaut Melayu sudah mengenal peta dan kompas. Kedua, mereka juga telah mengenal pelayaran ke kawasan subtropis nun jauh di benua seberang selatan Jawa.
Setelah menyinggahi Malaka, dia mengabdi sebagai serdadu Portugis di Cannanore—kini Kannur—India selama dua tahun. Pada akhir 1507, dia pulang dengan rute melayari Tanjung Harapan. Saat singgah ke Lisbon, dia berkesempatan berjumpa dengan Raja Portugis Manuel I untuk membahas gelar kebangsawanannya yang dia terima saat bertugas di Kannur. Akhirnya, dia berjejak kembali ke kampung halamannya di Italia. Varthema wafat di Roma pada Juni 1517 dalam usia sekitar 50 tahun.
“Karyanya sungguh memengaruhi dalam penentuan arah ekspansi Portugis,” tulis Raymond, “dan digunakan oleh Magellan dalam menunjukkan perkaranya terkait pelayaran pertama mengelilingi dunia.”
Raymond John Howgego mengungkapkan pandangannya tentang perjalanan Varthema yang telah “mendefinisikan arah kontak orang Eropa dengan Asia.”
Ray merupakan penulis asal London yang menyusun The Book of Exploration, peneliti yang gemar menapaki jejak para penjelajah, dan mantan konsultan untuk National Geographic.
Kendati sebagian sarjana modern meragukan perjalanannya ke Hindia terkait kronologi dan catatan yang relatif tidak detail, faktanya penjelajahan itu mungkin benar dilakukan. Raymond juga menambahkan bahwa informasi yang diberikan Varthema, kendati dari sumber kedua, pada dasarnya memiliki keakuratan. “Karyanya sungguh memengaruhi dalam penentuan arah ekspansi Portugis,” tulis Ray, “dan digunakan oleh Magellan dalam menunjukkan perkaranya terkait pelayaran pertama mengelilingi dunia.”
Baca juga: Universitas di Korea Kembangkan Robot Pembunuh Seperti Terminator?
Tahun ini tepat 500 tahun wafatnya sang penjelajah pionir di Kepulauan Rempah. Saya kembali teringat pesan Varthema, yang meneguhkan bahwa catatan perjalanannya bukanlah kabar dusta. “Ingatlah baik-baik bahwa testimoni dari satu saksi mata akan lebih bernilai ketimbang sepuluh kabar burung.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR