Nationalgeographic.co.id - Anemia adalah kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah merah yang sehat atau sel darah merah tidak berfungsi. Berdasarkan hasil studi baru terungkap perjalanan luar angkasa dapat menyebabkan jumlah sel darah merah yang lebih rendah. Kondisi ini disebut dengan space anemia atau anemia luar angkasa.
Dilansir dari Phys, sebelumnya kondisi tersebut dianggap sebagai adaptasi cepat terhadap cairan yang berpindah ke tubuh bagian atas astronaut saat mereka pertama kali tiba di luar angkasa. Astronaut kehilangan 10 persen cairan di pembuluh darah mereka. Diperkirakan astronaut dengan cepat menghancurkan 10 persen sel darah merah guna mengembalikan keseimbangan. Kontrol sel darah merah kembali normal setelah 10 hari di luar angkasa.
Seorang dokter rehabilitasi dan peneliti di The Ottawa Hospital serta profesor di University of Ottawa bernama Dr. Guy Trudel yang menjadi penulis utama studi ini mengatakan space anemia secara konsisten telah dilaporkan ketika astronaut kembali ke Bumi sejak misi luar angkasa pertama, "tetapi kami tidak mengetahui penyebabnya."
“Studi kami menujukkan bahwa setelah tiba di luar angkasa, lebih banyak sel darah merah dihancurkan dan ini berlanjut selama misi astronaut,” ujar Dr. Guy Trudel kepada Phys.
Studi ini telah dipublikasikan dengan judul "Hemolysis contributes to anemia during long-duration space flight" di laman Nature Medicine, 14 Januari 2022. Dalam penelitian ini tim peneliti menemukan penghancuran sel darah merah adalah efek utama berada di luar angkasa, bukan hanya disebabkan oleh perpindahan cairan. Mereka mendemonstrasikan ini dengan mengukur langsung penghancuran sel darah merah pada 14 astronaut selama enam bulan mereka berada di luar angkasa.
Baca Juga: Astronaut NASA di Luar Angkasa Memotret Gunung Kembar Indonesia
Diketahui, di Bumi tubuh manusia membuat dan menghancurkan 2 juta sel darah merah setiap detik. Para peneliti menemukan bahwa pada astronaut 3 juta sel darah merah hancur setiap detik atau 54 persen lebih banyak. Hasil ini sama untuk astronaut pria maupun wanita.
Tim Dr. Trudel membuat penemuan ini berkat teknik dan metode yang mereka kembangkan untuk mengukur penghancuran sel darah merah secara akurat. Metode ini kemudian diadaptasi untuk mengumpulkan sampel di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Di laboratoriumnya, para ahli mengukur secara tepat sejumlah kecil karbon monoksida dalam sampel napas dari para astronaut. Satu molekul karbon monoksida diproduksi setiap kali satu molekul heme, pigmen merah tua dalam sel darah merah, dihancurkan.
Ketika tim tidak mengukur produksi sel darah merah secara langsung, mereka menganggap para astronaut menghasilkan sel darah merah ekstra untuk mengompensasi sel yang mereka hancurkan. Jika tidak, para astronaut akan anemia parah dan memiliki masalah kesehatan di luar angkasa.
Untungnya, Dr. Trudel mengatakan memiliki lebih sedikit sel darah merah di luar angkasa tidak menjadi masalah, karena tubuh tidak berbobot. Akan tetapi ketika mendarat di Bumi atau bulan atau planet lain, anemia dapat memengaruhi energi, daya tahan, dan kekuatan.
“Efek anemia hanya terasa begitu Anda mendarat, dan harus menghadapi gravitasi lagi," katanya.
Dalam penelitian ini, lima dari 13 astronaut secara klinis menderita anemia ketika mendarat. Satu orang lainnya dari total 14 tidak diambil darahnya. Para peneliti melihat bahwa kondisi ini bersifat reversibel, tingkat sel darah merah secara progresif kembali normal setelah tiga hingga empat bulan kembali ke Bumi.
Tidak berhenti sampai di sana, hal menarik didapat ketika tim mengulangi pengukuran yang sama satu tahun setelah astronaut kembali ke Bumi. Mereka mendapati penghancuran sel darah merah masih 30 persen di atas tingkat sebelum terbang. Hasil ini menunjukkan perubahan struktural mungkin terjadi pada saat astronaut berada di luar angkasa, mengubah kontrol sel darah merah hingga satu tahun setelah misi luar angkasa jangka panjang.
Baca Juga: Miliarder Jepang Jadi Turis di Stasiun Luar Angkasa Internasional
Temuan bahwa perjalanan ruang angkasa meningkatkan penghancuran sel darah memiliki beberapa implikasi. Pertama, ini mendukung skrining astronaut atau turis luar angkasa perihal darah atau kondisi kesehatan yang ada dipengaruhi oleh anemia. Kedua, semakin lama misi luar angkasa, semakin buruk anemia. Ketiga peningkatan produksi sel darah merah akan membutuhkan pola makan yang disesuaikan untuk astronaut. Terakhir, tidak jelas berapa lama tubuh dapat mempertahankan tingkat penghancuran dan produksi sel darah merah yang lebih tinggi.
Hasil studi ini juga bisa diterapkan pada kehidupan di Bumi. Sebagai dokter rehabilitasi, sebagian besar pasien Dr. Trudel menderita anemia setelah sakit parah dalam waktu lama dengan mobilitas terbatas, dan anemia menghalangi kemampuan mereka untuk berolahraga dan memulihkan diri.
Bedrest atau tirah baring telah terbukti menyebabkan anemia, tetapi bagaimana hal ini terjadi tidak diketahui. Dr. Trudel berpikir mekanismenya mungkin seperti space anemia. Tim peneliti akan menyelidiki hipotesis ini selama studi tirah baring di masa depan yang dilakukan di Bumi.
Jika dapat diketahui secara pasti apa yang menyebabkan anemia ini maka ada potensi untuk mengobati maupun mencegahnya, baik untuk astronaut maupun pasien di Bumi. Penemuan ini merupakan hasil pertama dari MARROW, eksperimen buatan Ottawa yang melihat kesehatan sumsum tulang dan produksi darah di luar angkasa.
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR