Namun, dalam jangka panjang, mekarnya alga ini bisa mengganggu keseimbangan ekologis.
Para peneliti khawatir, spesies yang selama ini belum diketahui bisa hilang sebelum mereka menemukannya. Para peneliti juga takut akan suhu yang semakin hangat di belahan Bumi lainnya.
Berdasarkan pemantauan NASA dari 2002 hingga 2016, diketahui bahwa Antartika kehilangan 125 gigaton es per tahunnya. Menyebabkan kenaikan air laut 0.35 milimeter per tahun di seluruh dunia.
Antartika menyimpan 62 persen cadangan air, jadi pencairan di sana bisa berakibat fatal. Salah satunya mengurangi kandungan garam air laut yang berbahaya bagi spesies lautan.
Tumbuhan yang beradaptasi
Bagaimana pun juga, ‘benua putih’ ini memegang kunci kehidupan tanaman dan hewan yang bisa beradaptasi dengan perubahan suhu.
Tanaman Antartika – yang tahan terhadap radiasi ultraviolet dan kondisi ekstrem – telah digunakan bioteknologi untuk membuat antioksidan, gula alami, dan losion pelindung dari sinar Matahari.
(Baca juga: Dunia Tersembunyi di Balik Gunung Es Antartika)
Di dalam rumah kaca mini, Marisol Pizarro, ilmuwan bioteknologi dari University of Santiago, mempelajari bagaimana tumbuhan Antartika bereaksi terhadap suhu buatan yang ditingkatkan satu hingga 2 derajat celsius.
Hasilnya menunjukkan, lumut bisa beradaptasi dengan baik terhadap perubahan suhu – keuntungan yang mungkin bisa membantu vegetasi lain di masa depan.
Antartika yang menjadi salah satu wilayah Bumi dengan pemanasan tercepat, memaksa para peneliti untuk bekerja lebih cepat melawan waktu. Para ilmuwan Cile di Antartika melakukan sekitar 100 proyek. Mulai dari pengamatan genetik penguin, bagaimana aktivitas Matahari mempengaruhi lingkungan Kutub, hingga membandingkan moluska lokal dengan yang berada di Amerika Selatan.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR