Nationalgeographic.co.id—Ana Nadhya Abrar mendapatkan gelar profesornya di bidang jurnalistik.Namun, untuk mencapai gelar ini memakan waktu yang sangat lama baginya, bermula dari perjumpaannya dengan profesor jurnalisme Doshisa University, Jepang, Kenichi Asano.
Perjumpaan itu terjadi ketika ia menjadi dosen tamu di Graduate School of International Development, Nagoya University, Jepang, pada Agustus 1996.
"Kalau dihitung-hitung, saya ingin menjadi profesor jurnalisme tahun '96 tapi baru kesampaian tahun 2021. Dua puluh lima tahun saya berusaha mencapai jabatan profesor ini," kata Ana sambil menitikkan air matanya ketika pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Kajian Jurnalisme pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Kamis, 10 Maret 2022. Tajuk pidatonya, Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi.
Perjuangan panjangnya mencapai gelar tertinggi akademik itu, pun mungkin kelak bisa dibuat dalam biografi—seperti rincian jalan dari pertemuan-pertemuan, semangat keluarganya, dan usahanya yang dilalui. Lantas siapakah yang dapat menulis biografi?
Walau biografi berhubungan dengan masa lalu dan sejarah yang dialami seseorang, Ana menjelaskan, tak hanya sejarawan saja yang bisa melakukannya. Penulisan itu juga dilakukan oleh kalangan jurnalis karena jurnalisme memiliki integritas.
"Biografi bisa membantu memahami dinamika sejarah," ujarnya. "Memang biografi tidak secara khusus mengisahkan sejarah. Tidak jarang biografi hanya dimaksudkan untuk mengenang tokoh yang dikisahkan. Namun, dengan menuliskan sejarah sang tokoh, kita secara tidak langsung bisa mengetahui sejarah yang terkait dengan sejarah tokoh itu."
Misal, Sang Pemula yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, merupakan biografi tentang Tirto Adhi Suryo. Kita bisa mengenal sosoknya lebih jelas lewat tulisan itu. Tidak hanya itu, konteks sekitarnya Tirto dapat dipahami berupa bagaimana bentuk politik masa Hindia Belanda yang dihadapinya, dan pers berunsur nasionalisme lahir.
Secara luas, jurnalisme memiliki kesan bukan bidang yang membahas sejarah, karena ada bidang lainnya seperti sejarawan. Tetapi, Ana mengatakan, wartawan dapat menjadi penulis biografi karena kesungguhan mereka untuk meningkatkan intelektualitas. Meningkatkan intelektualitas khalayak inilah batas atas jurnalisme dalam penulisan biografi.
"Memang peningkatan intelektualitas khayalak bisa dilakukan wartawan melalu teks dan gambar. Teks dan gambar memiliki bahasanya sendiri. Bahasa teks dan bahasa gambar juga punya logika tersendiri," Ana menerangkan. "Namun, dalam menulis biografi, wartawan menjadikan bahasa sebagai alat interaksi antara dirinya dan khalayaknya."
Wartawan memang tidak boleh menulis opini karena apa yang dibuatnya harus objektif. Ana mengungkapkan, untuk menghadirkan dirinya sebagai penulis biografi, wartawan melakukan framing dan tindakan ini dalam biografi adalah pekerjaan yang sah, karena berlandaskan fakta yang ada.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR