Sementara batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi adalah mengutamakan nilai kemanusiaan. Pada batas ini, wartawan sebagai biograf bisa menjabarkan fakta lewat 5W+1H, tetapi dimodifikasi dengan menyentuh khalayak, ujar Ana.
Baca Juga: Abdoel Rivai, Jurnalis Hindia Berbahasa Melayu di Negeri Belanda
Baca Juga: Rentetan Praktik Pembredelan pada Media Massa oleh Orde Baru
Baca Juga: Pantai Wartawan Rajabasa, Sumber Air Panas yang Bercampur Air Laut
Baca Juga: Kezaliman Terhadap Jurnalis di Awal Kemerdekaan Republik Indonesia
Umumnya, bahasa yang digunakan dalam jurnalisme ringkas dan baku. Agar dapat menyentuh khalayak, pemaparan 5W+1H dapat dilakukan wartawan dengan membuat cerita dengan alur, kerangka waktu, seorang tukang kisah yang menuturkan kisah tersebut, perkembangan pelaku, dan ruang tempat terjadinya kisah.
Ana menyebutnya sebagai teknik menulis feature personality, karena cara ini bisa membuat khalayaknya mendapatkan nilai manusiawi.
Penulisan biografi dengan prinsip jurnalisme boleh dirangkai dengan narasi puitis selama masih menyangkut fakta, Ana berpendapat. Meski pun, umumnya narasi jurnalisme tidak puitis, pemaparan fakta dari biografi juga harus pandai dalam cara membuat khalayak menyukai bacaannya. Narasi menjadi batas kiri jurnalisme.
"Pengalaman ini, biasanya, ditentukan juga oleh 'jam terbang' pengetahuan, pengalaman, dan kepakaan," demikian urai Ana. "Kalau pengalaman narasi pencipta narasi dan pengalaman penanggap narasi identik, biasanya penanggap narasi akan menyukai narasi yang dibacanya. Kesukaan ini menjadi dasar baginya untuk memahami isi narasi tersebut."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR