Nationalgeographic.co.id—Ketika Nikolay Gumilyov meninggal pada Agustus 1921, teman-temannya tidak berani meratapinya di depan umum. Penyair dan pembangkang terkemuka Rusia telah ditangkap dan dituduh merencanakan pemberontakan melawan Bolshevik. Bolshevik merupakan kelompok sayap kiri radikal yang didirikan oleh Vladimir Lenin yang mengambil alih kekuasaan setelah Revolusi Rusia. Gumilyov dihukum tanpa pengadilan dan dieksekusi oleh regu tembak.
Penyair hanyalah salah satu dari banyak korban Teror Merah. Ini merupakan gelombang kebrutalan yang diprakarsai negara, yang dilakukan di Rusia pada 5 September 1918 dan berlangsung hingga 1922. Kaum Bolshevik menggunakan taktik teror untuk membungkam musuh mereka dan menghalangi orang lain untuk melawan mereka. Tujuannya untuk mempertahankan kendali atas Rusia dalam pergolakan sipil perang.
Puluhan ribu dan mungkin lebih dari satu juta orang dicap sebagai “class enemies” atau musuh revolusi. Orang-orang ini ditahan di kamp konsentrasi atau dieksekusi mati. Teror Merah membuka jalan untuk pemerintahan Soviet selama beberapa dekade dan kekerasan ini didukung negara.
Pada awal abad ke-20, Rusia menghadapi perselisihan dan perubahan rezim. Ini terjadi setelah bertahun-tahun bencana kelaparan dan ketidaksetaraan dramatis di bawah pemerintahan kekaisaran yang otokratis. 1905, protes massa memaksa Tsar Nicholas II untuk menetapkan konstitusi pertama Rusia, melindungi hak-hak dasar sipil, dan memungkinkan pembentukan parlemen.
Namun rakyat tidap puas, ketegangan berkobar lagi di tengah-tengah perampasan dan kematian Perang Dunia I. Di bulan Maret 1917, para pengunjuk rasa yang lapar dan marah menuntut pengunduran diri Nicholas. Dihadapkan dengan pemberontakan masyarakat Rusia yang luas, termasuk tentaranya sendiri, ia mengundurkan diri.
Monarki Rusia telah berakhir. Tetapi meskipun pemerintah sementara yang menggantikan tsar meloloskan reformasi hak-hak sipil, ia berjuang untuk memimpin. Perang Dunia I masih berlangsung, dan pejabat pemerintah khawatir bahwa kekalahan di tangan Jerman akan mengarah pada pemulihan monarki. Sementara itu, kekurangan makanan terus menimbulkan ketidakpuasan di antara banyak orang Rusia. Pada November 1917, kaum Bolshevik memanfaatkan kerusuhan dan merebut kekuasaan dengan menjanjikan “perdamaian, tanah, dan roti” kepada rakyat Rusia.
Kaum Bolshevik melihat Rusia sebagai tempat yang ideal untuk menggerakkan revolusi komunis. Namun bukan oleh kelas pekerja yang bangkit untuk menghapus kapitalisme, tetapi melalui sebuah kelompok kecil otoriter yang akan mendirikan negara sosialis. Kelompok ini mendorong masyarakat menuju komunisme.
Dipimpin oleh Lenin, kaum Bolshevik menghapuskan pemerintahan sementara dan mengabaikan segala upaya demokrasi. Pada Maret 1918, mereka menandatangani perjanjian dengan Blok Sentral untuk mengakhiri keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia I. Ini merupakan perjanjian hukuman yang menyerahkan sepertiga penduduk Rusia dan lahan pertanian serta sebagian besar sumber dayanya ke Jerman.
Perjanjian ini tentu mengintensifkan perang saudara yang sedang berkembang antara kaum Bolshevik (The Reds) dan gerakan oposisi yang luas (Whites). Gerakan oposisi mencakup elit, anggota militer, dan orang-orang yang ingin kembali ke monarki atau demokrasi. Pada awal perang saudara tahun 1918, orang-orang kulit putih melancarkan serangkaian pembalasan kejam yang dikenal sebagai Teror Putih. Serangan ini menewaskan puluhan ribu orang. Mereka juga melawan Tentara Merah yang baru terbentuk pada saat itu.
Kemudian, pada tanggal 30 Agustus 1918, Lenin ditembak setelah memberikan pidato di sebuah pabrik. Setelah pulih, Lenin berkata, "Sangat penting untuk mempersiapkan teror secara diam-diam dan segera."
Itu adalah sinyal untuk memulai penindasan brutal terhadap “class enemies” Bolshevik, siapa pun yang dicurigai bersekutu dengan The White. Dikenal sebagai Teror Merah, penyerangan itu memiliki dua tujuan: melenyapkan musuh Bolshevik dan menggambarkan Bolshevik sebagai pembela kelas pekerja. Teror Merah menjadi kebijakan resmi negara pada tanggal 5 September 1918.
“Kami tidak mengobarkan perang melawan individu,” kata pemimpin Cheka Martyn Latsis. “Kami sedang memusnahkan borjuasi sebagai sebuah kelas.”
Dia mendorong sesama anggota untuk menyerang orang-orang yang dicurigai bersimpati kepada borjuasi tanpa mencari bukti. Dalam beberapa bulan, Cheka mengeksekusi setidaknya 10.000 orang. Ribuan lainnya ditempatkan di kamp-kamp yang dilikuidasi dalam pembantaian yang sering terjadi.
Baca Juga: 30 November 1939, Kala Bom Soviet Menandai Perang Musim Dingin
Baca Juga: Viktor Belenko: Pilot yang Berhasil Mencuri Pesawat Rahasia Soviet
Baca Juga: Kenangan Prajurit Soviet Terakhir yang Membebaskan Auschwitz dari Nazi
Korban tewas Teror Merah mungkin jauh lebih besar—menurut beberapa laporan, hingga 1,3 juta mungkin menjadi korbannya. Namun, karena beberapa alasan, tingkat kesadisan Teror Merah tidak diketahui dengan pasti.
Ketika Bolshevik menang dari perang saudara pada tahun 1921, Teror Merah secara teknis berakhir. Tetapi kekerasan itu adalah awal dari penindasan dan kematian selama beberapa dekade di Rusia Soviet.
Teror Merah meletakkan dasar untuk pembersihan politik dan eksekusi massal pada tahun 1930-an di bawah penerus Lenin Joseph Stalin. Sebanyak tiga juta “musuh” partai terbunuh.
Teror Merah memetakan arah yang mengerikan bagi Rusia. Bagi kaum Bolshevik, represi besar-besaran dibenarkan sebagai alat yang memperkuat kekuatan politik dan mencapai tujuan sosialisme. Ini memberikan pelajaran ampuh kepada mereka yang menentang rezim.
“Intimidasi adalah senjata kebijakan yang ampuh,” tulis Leon Trotsky, pemimpin Tentara Merah. Revolusi terdiri dari pembunuhan individu dan intimidasi ribuan orang.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR