Direktur Joint Global Change Research Instute sekaligus salah satu penulis laporan, Brian O'Neill, menambahkan, jumlah orang yang dipaksa jatuh miskin selama rentang waktu 15 tahun akibat perubahan iklim dapat berkisar 10 juta hingga 100 juta. Semua tergantung pada kerentanan mereka dan lahan mereka.
Laporan tersebut mencatat bahwa panas yang ekstrem menjadi lebih intens di kota-kota, secara substansial meningkatkan risiko kematian akibat panas bagi penduduk lingkungan berpenghasilan rendah dan terutama bagi individu yang tidak memiliki rumah.
Mempersiapkan perubahan iklim bukan hanya soal membangun tembok laut atau sistem irigasi, tulis laporan. Kebanyakan proyek untuk adapatasi dengan masa depan saat ini justru berskala kecil, terfragmentasi, dan hanya berfokus pada jangka pendek.
Sebagian besar proyek adaptasi yang dilakukan pemerintah berfokus pada proyek terkait air seperti tanggul dan sistem peringatan banjir, resotrasi lahan basah pesisir, konservasi kelembababn tahan untuk pertanian, dan pelindungan garis pantai. Padahal, O'Neill berpendapat, "yang sama pentingnya adalah meningkatkan kondisi kehidupan di seluruh dunia."
Selain itu pula, sepertiga dari populasi dunia saat ini berdampak tekenan panas. Walau peningkatan emisi tak bisa terhindari, semua bergantung pada tindakan yang diambil untuk membatasinya. Diprediksikan emisi akan terus meningkat dari 48 hingga 76 persen dari populasi yang diproyeksikan untuk tahun 2100.
Secara kesehatan, vektor penyakit seperti nyamuk mendapat manfaat dari musim hangat yang lebih lama dan jangkauannya lebih meluas akibat pemanasan. Hal ini berisiko bagi penyebaran penyakit yang dihasilkan nyamuk seperti DBD dengan cakupan lebih luas.
Pemahaman tentang perubahan iklim menyebabkan penyakit bukanlah pertama kalinya dipahami. Para ilmuwan juga mendapati bahwa virus tersebar seperti pagebluk COVID-19 disebabkan oleh perubahan iklim, yang diskenariokan dalam kabar sebelumnya di National Geographic Indonesia. Penyakit zoonosis bisa tertular akibat interaksi manusia dengan hewan yang telah kehilangan habitatnya atau bermigrasi akibat peningkatan suhu global.
"Orang-orang sekarang menderita dan sekarat akibat perubahan iklim," lanjut Ebi.
Untuk pencegahan, selagi perubahan iklim menjadi semakin mematikan, pemerintahan harus menciptakan perawatan kesehatan dan tata kota yang lebih kuatuntuk menyelamatkan banyak jiwa, tulis laporan IPCC.
Baca Juga: Merespon Krisis Iklim Dunia Melalui Pameran Fotografi di Kota Salatiga
Baca Juga: Panas Ekstrem Adalah 'New Normal' di Sebagian Besar Laut Dunia
Source | : | National Geographic,Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR