Nationalgeographic.co.id—2030 sebagai senggat waktu pencegahan perubahan iklim kian mendekat. Di saat lambannya pemenuhan akan Perjanjian Paris, emisi justru tetap meningkat meski dalam situasi pagebluk yang membatasi pegerakan masyarakat.
Padahal dampaknya sangat terasa bagi kita, seperti meningkatnya rata-rata temperatur yang memicu kebakaran hutan, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, hingga bencana alam. Kian lama, perubahan iklim makin menggerogoti kita dari sektor kesehatan masyarakat.
Para ilmuwan melalui berbagai penelitian telah berulang kali memberikan hasil, dan memperingati pemangku kebijakan publik di seluruh dunia terkait ancaman ini. Tak hanya itu, masyarakat yang menyadari perubahan iklim, LSM, dan aktivis di beberapa negara juga terus berupaya menyadarkan pemerintah akan dampak perubahan iklim.
Selain itu para editor jurnal penelitian awal September ini, melayangkan desakan bersama-sama kepada para pemimpin dunia agar segera menurunkan dampak perubahan iklim. Terlebih, mereka khawatir karena perubahan iklim akan sangat berdampak pada kesehatan.
Sebuah laporan penelitian tahun 2018 di Journal of Stroke memaparkan polusi udara yang mendangung partikel yang mayoritas dari emisi bahan bakar fosil, ternyata dapat menyebabkan serangan jantung.
Partikel itu dapat menembus paru-paru, jantung, bahkan mengalir ke aliran darah kita, dan berbahaya bagi organ. Kemudian secara langsung memicu respons inflamasi dari sistem kekebalan kita.
Selain itu, polusi udara juga menyebabkan hingga 9 juta kematian dini per tahunnya, berdasarkan penelitian Harvard University, University of Birmingham, dan University of Birmingham, pada April lalu. Penelitian itu berjudul Global mortality from outdoor fine particle pollution generated by fossil fuel combustion: Results from GEOS-Chem, yang diterbitkan di jurnal Environmental & Research.
Baca Juga: Para Editor Jurnal Sains Desak Pemimpin Dunia untuk Minimumkan Dampak Perubahan Iklim
Melansir dari National Geographic, orang yang berusia 65 tahun paling rentan terhadap dampak polusi udara. Kari Nadeau dari Sean N. Parker Center for Allergy and Asthma Research mengatakan, bahwa orang yang menghisap rokok atau vape berisiko lebih tinggi, seperti anak-anak dengan asma.
CO2 meningkatkan keasaman udara, yang dapat menarik lebih banyak serbuk sari pada tanaman. Sebagian orang akan mengalami alergi musiman yang panjang dan menganggu, tetapi bisa juga mengancam jiwa.
"Untuk yang mengidap sakit pernapasan, itu adalah masalah," kata Nadeau. Ketika serbuk sari masuk ke jalur pernapasan, tubuh membuat lendir untuk membuangnya, yang kemudian dapat menyesakkan paru-paru.
Haines peneliti Department of Public Health di London School of Hygiene & Tropical Medicine, Inggris, memaparkan ada hubungan antara gelombang panas yang terbentuk akibat perubahan iklim, dengan hasil kesehatan. Dia bersama berbagai peneliti lintas negara menerbitkan penelitian di jurnal Nature Climate Change bulan Juni lalu.
Dia dan tim menemukan, bahwa akan banyak manusia yang meninggal di beberapa negara, dengan akses yang lebih sedikit pada alat pendingin seperti AC, atau mereka yang rentan terhadap suhu panas.
Gelombang panas ini juga akan membuat ketimpangan pangan dari sektor kelautan. Lantaran, ikan bermigrasi ke kawasan dekat kutub untuk menghindari panas, sehingga stok ikan di subtropis akan mengecil dan "memiliki implikasi besar untuk nutrisi bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada ikan," ujar Haines.
Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan Indonesia
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) juga memaparkan perubahan iklim dapat menurunkan hasil panen, akibat pola cuaca hujan dan perubahan ekstrem.
Belum lagi, penelitian berjudul Rising CO2 threatens human nutrition di National Center for Biotechnology Information Amerika Serikat mengungkap, kadar karbon dioksida di atmosfer bisa merusak zinc, zat besi, dan protein yang menjadi nutrisi manusia dari tumbuhan.
Mereka mendapatkan malnutrisi akibat gelombang panas, seperti penyakit jantung, kanker, dan diabetes. Ada pun risiko gangguan pertumbuhan pada anak-anak juga mengancam, dan membahayakan fungsi kognitif mereka.
Ilmuwan dan petani mulai belajar bagaimana cara menghadapi krisis pangan akibat perubahan iklim, sebagai cara adaptasi. Seperti yang National Geographic Indonesia laporkan sebelumnya, lewat agrometeorologi petani bisa merangkap menjadi peneliti untuk mengetahui tanaman, dan kondisi apa yang cocok untuk penanaman.
"Pertanian yang menanggapi seharusnya [berisi petani] yang tanggap perubahan iklim, adalah yang mampu megantisipasi dan mengambil keputusan untuk tanggap konsekuensi perubahan iklim," ujar Yunita T Winarto, Guru Besar Purna Bakti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Baca Juga: Para Petani Rangkap Peneliti, dan Kisahnya Menghadapi Perubahan Iklim
Pagebluk seperti COVID-19 sangat mungkin terjadi kembali di masa depan akibat perubahan iklim. Robert Bayer dari Cambrige University dalam laporan National Geograpihic Indonesia sebelumnya memaparkan, bahwa perubahan iklim mengakibatkan hewan pembawa virus mencari harus bermigrasi akibat suhu global.
"Ini tidak hanya mengubah wilayah di mana virus berada, tetapi kemungkinan besar berpotensi adanya interaksi baru antara hewan dan virus, menyebabkan lebih banyak virus berbahaya ditularkan atau berkembang," ujarnya Februari lalu.
Selain itu Haines juga menerangkan perubahan iklim bisa meningkatkan risiko penyakit yang dapat ditularkan lewat air seperti kolera, demam tifoid, dan parasit. Penyakit itu bisa menyerang bila seseorang berinteraksi dengan air kotor atau banjir.
Baca Juga: Studi Jelaskan Bagaimana Perubahan Iklim Memicu Pagebluk Covid-19
Ada pula kesehatan mental bisa mengancam kita lewat bencana seperti banjir dan kebakaran hutan. Kabar Juni lalu, akibat cuaca ekstrem membuat banyak orang mengalami trauma, stres, dan depresi.
Nadeau dalam studinya yang sudah disebutkan di atas, kesehatan mental meningkatkan orang berkunjung ke IGD akibat kebakaran hutan di Amerika Serikat. Mereka kehilangan rumah, pekerjaan, dan orang-orang yang dicintai. "Apa masalah akut tercepat yang berkembang? Ini psikologis," ujarnya.
Kendati demikian, Nadeau berpendapat, situasi pagebluk COVID-19 yang terjadi lebih dari setahun belakangan ini membuka peluang para pemimpin dunia untuk berpikir lebih luas dan strategis. Misal, karena masalah efisiensi dan kesetaraan, banyak negara tanggap untuk strukturisasi ulang fasilitas kesehatan mereka.
Baca Juga: Krisis Iklim Turut Memberikan Dampak yang Besar bagi Kesehatan Mental
Selain itu, banyak pihak yang mulai mencari cara baru untuk mengurangi limbah dan emisi, dengan energi terbarukan.
Haines menanggapi beberapa negara juga terikat dengan Perjanjian paris untuk emngurangi pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius, lewat pengurangan emisi. " “Ketika Anda mengurangi emisi tersebut, Anda juga bermanfaat bagi kesehatan dan planet ini,” terangnya. Beberapa negara pun juga terlihat mulai melaksanakan pengembangannya.
"Ini ada di tangan kita untuk dilakukan," kata Nadeau. "Jika kita tidak melakukan apa-apa, itu akan menjadi bencana besar."
Baca Juga: Jutaan Orang Akan Mati jika Dunia Gagal Tepati Perjanjian Iklim
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR