Alasan pendiriannya lebih karena berada di dekat tempat perahu mereka bersandar, yaitu di bantaran Sungai Jenes, anak Sungai Bengawan Solo di Sampangan, Semanggi, Surakarta.
Menurut catatan yang ditulis Mulyadi, surau kecil tempat transit rombongan Sampang itu berada tepat di sebelah barat dekat areal pemakaman di tepian sungai, dan ditumbuhi tanaman liar yang cukup lebat.
Kebanggaan di antara masyarakat desa di kawasan tempat bersandarnya perahu layar milik Cakraningrat 1 dan pasukannya, mendorong perawatan intensif terhadap surau berbentuk rumah panggung yang telah mereka dirikan.
Kebanggaan ini nampaknya mengilhami penduduk lokal untuk menamai desanya dengan nama Sampangan. Begitu juga pada periode berikutnya, surau milik Cakraningrat I ini yang kemudian menjadi Masjid Sampangan.
"Awalnya masjid ada di pinggir kali Bengawan, terus bergeser agak ke tengah pemukiman warga, sampai akhirnya dipindah lagi ke posisi sekarang, di pinggir jalan raya, berguna buat orang-orang yang mampir salat," tutup Ahsanudin kepada saya.
Sampai wafatnya Cakraningrat I, masjid tersebut tak lagi disinggahi rombongan dari Madura. Namun, kebanggan masyarakatnya, membuat Masjid Sampangan terus terjaga sampai hari ini sebagai saksi adanya hubungan diplomasi Mataram Jawa dan Madura.
Ulasan dalam artikel ini diterbitkan dalam jurnal karya Galih Pranata, Ahmad Rushanfichry dan Moh. Yudik Al Faruq yang berjudul Masjid Sampangan di Surakarta Sebagai Sumber Sejarah Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura Sejak Abad XVII, publikasi 2022.
Source | : | Journal of Indonesian History (UNNES) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR