Nationalgeographic.co.id—Saffron crocus (Crocus sativus) dikenal sebagai rempah termahal di dunia dengan harga mencapai ratusan juta rupiah per kilogramnya. Meski banyak tumbuh dan tersebar di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya, ternyata saffron pertama kali didomestikasi di Yunani Kuno, studi baru mengungkapkannya.
Selama lebih dari tiga milenium, saffron dibudidayakan di Mediterania, termasuk Yunani kuno, Persia, dan budaya lain, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Terlepas dari kemahahadiran awal safron crocus, asal usulnya telah menjadi bahan perdebatan berabad-abad, dalam hal area dan waktu serta kontribusi spesies induk saffron.
Para peneliti kemudian menganalisis seni kuno dan genetika terbaru untuk melacak asal usul evolusi safron crocus. Laporan penelitian tersebut telah dipublikasikan di Frontiers in Plant Science dengan judul "Ancient Artworks and Crocus Genetics Both Support Saffron’s Origin in Early Greece".
Seperti diketahui, Saffron merupakan tanaman bunga triploid dan sumber rempah-rempah dan pewarna safron. Saffron dikenal dari Yunani hingga Iran, dari lukisan dan pewarna hingga rempah-rempah dan parfum, rasa dan warna kuning safron yang berkilauan menjadikannya sebagai rempah-rempah termahal di dunia. Saffron telah membuat jejaknya dalam sejarah manusia.
Saffron diekstraksi dari bunga saffron crocus, spesies tanaman berbunga dari genus Crocus dalam keluarga iris Iridaceae. Antara 15.000 dan 16.000 bunga, membutuhkan antara 370 dan 470 jam kerja untuk dikumpulkan, menghasilkan satu kilo safron, bernilai antara $ 1.300 hingga $ 10.000.
Mediterania dianggap sebagai tempat munculnya banyak spesies Crocus, dengan Yunani dan Turki memiliki jumlah tertinggi. Menyelidiki teks dan karya seni kuno di wilayah ini dapat membantu menemukan lebih banyak informasi tentang domestikasi safron awal.
Penggunaan pertama kata 'safron' berasal dari abad ke-12 dengan istilah Prancis kuno safran yang secara berurutan berasal dari bahasa safranum (Latin), za'farān (Arab), dan zarparan Persia dengan arti 'rangkaian emas.' Karena taksonomi rakyat digunakan untuk membedakan spesies tanaman sebelum formalisasi sistem Linnaean, spesies krokus ungu berbunga musim gugur yang berbeda tidak dibedakan sebelum abad ke-18.
Oleh karena pada saat itu, sebagian besar crocus dianggap sebagai satu, mereka tidak dapat mengandalkan teks untuk informasi spesies yang jelas. Namun demikian, para ilmuwan menyarankan bahwa Crocus cartwrightianus, Crocus thomasii, atau Crocus hadriaticus adalah spesies yang paling mungkin didokumentasikan oleh sejarawan kuno.
Mengenai seni kuno, gambar dapat dikategorikan menjadi dua jenis, di satu sisi, yang dilukis menggunakan pigmen yang berasal dari crocus dan di sisi lain, yang menggambarkan bunga saffron crocus. Sementara penggunaan pigmen berbasis crocus dapat ditelusuri kembali sekitar 50.000 tahun yang lalu ke lukisan gua prasejarah di barat laut Iran (sekarang Irak).
Tanda-tanda awal budidaya dan domestikasi ditemukan kemudian, sekitar 1700 SM, selama masa peradaban Minoan di Kreta. Karena nilai pengobatan dan kemampuan antioksidan safron yang tinggi diakui, nilai komersialnya sebagai rempah meningkat di era berikutnya, yang mengarah ke penyebarannya ke seluruh Mediterania.
"Baik karya seni kuno maupun genetika menunjuk ke Zaman Perunggu Yunani, sekitar 1700 SM atau lebih awal, sebagai asal usul domestikasi safron," kata Ludwig Mann, Ph.D. mahasiswa di Technische Universität Dresden yang juga merupakan salah satu rekan peneliti, dikutip sci-news.
Menurut rekan peneliti lainnya, Seyyedeh-Sanam Kazemi-Shahandashti, Ph.D mencari tahu di mana dan kapan safron pertama kali didomestikasi tidaklah mudah. Spesies ini sulit dipelajari secara genetik, karena memiliki tiga salinan dari setiap kromosom, bukan dua seperti biasanya, dan genom besar yang mengandung persentase tinggi sekuens DNA berulang. Kazemi-Shahandashti adalah mahasiswa di Institut Bio- dan Geosains dari Forschungszentrum Jülich.
"Karena tidak ada sisa-sisa crocus (saffron) kuno yang diawetkan dari zaman kuno, kami di sini mengunjungi kembali karya seni kuno yang menggambarkan tanaman seperti crocus. Kami berharap ini dapat mengarahkan kami ke wilayah tertentu," katanya.
Karya seni dari peradaban Minoa kemungkinan adalah yang tertua yang menggambarkan safron domestik. Misalnya, tambalan bunga crocus yang lebat di lukisan dinding 'The Saffron Gatherers' dari pulau Santorini (sekitar 1600 SM) yang menggambarkan budidaya.
Baca Juga: Asal Usul Rempah Termahal, Safron, Terungkap Lewat Karya Seni Kuno
Baca Juga: Safron, Rempah Termahal di Dunia yang Terdampak Perubahan Iklim
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Jaringan Dagang dan Dakwah Islam di Nusantara
"Fresco lain di pulau yang sama, 'The Adorants,' menunjukkan bunga dengan stigma panjang berwarna merah tua yang menutupi kelopak ungu gelap, khas safron budidaya. Bunga dengan ciri-ciri ini juga digambarkan pada keramik dan kain dari Zaman Perunggu Yunani, dan secara simbolis ditampilkan dalam ideogram untuk safron dalam naskah Linear B kuno," jelas peneliti.
Kemudian, di Mesir, makam dari abad ke-15 dan ke-14 SM menggambarkan bagaimana duta besar dari Kreta membawa upeti dalam bentuk tekstil yang diwarnai dengan saffron. Teks di Zaman Perunggu Yunani setuju dengan hasil dari studi genetik dari 2019, yang menunjukkan bahwa Crocus cartwrightianus, yang hanya terjadi di daratan Yunani dan Kreta, adalah kerabat liar terdekat safron.
"Saffron crocus modern dengan tiga genomnya muncul secara alami dari alam liar, baik secara eksklusif dari Crocus cartwrightianus atau dari hibrida antara Crocus cartwrightianus dan spesies crocus lainnya," kata para penulis.
Saffron crocus kemudian dipertahankan oleh orang Yunani Zaman Perunggu karena kualitasnya yang unggul sebagai rempah.
"Kami akan terus melacak sifat safron. Di seluruh dunia saat ini, semua crocus safron secara efektif adalah klon yang berasal dari kemunculan safron di Yunani kuno," kata Dr. Tony Heitkam, pemimpin kelompok Genomik Tanaman di Technische Universität Dresden.
Source | : | Sci-News,Frontiers in Plant Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR