Sebabnya, saat kereta api global menjamur hingga Perang Dunia I, Iran terjebak di antara dua kekuatan kekaisaran. Kekaisaran Rusia dan Kerajaan Inggris bersaing untuk mendapatkan pengaruh militer dan komersial di kawasan itu.
“Setiap kali ada proyek yang diusulkan Rusia untuk membangun rel kereta api di Iran, ada oposisi Inggris. Dan ketika ada rencana Inggris, ada oposisi Rusia,” kata Koyagi.
Namun semua itu mengalami perubahan pada tahun 1925. Saat itu Kekaisaran Qajar Iran runtuh. Negara bagian Pahlavi yang baru ingin membangun infrastruktur negara dan memperluas perdagangan tanpa bergantung pada kekuatan asing.
Mereka mendanai seluruh jalur kereta api di dalam negeri dengan mengenakan pajak yang tinggi atas gula dan teh dan mengambil pinjaman bank domestik.
“Itu adalah keputusan yang disengaja agar tidak memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada satu negara tertentu,” ungkap Koyagi.
Mereka juga merencanakan jalur di sekitar kepentingan nasional untuk mengoptimalkan perdagangan dan akses militer negara. Misalnya, jalur kereta api menghubungkan perairan utama di utara dan selatan, barang-barang Iran dapat diekspor dengan mudah. Itu juga memberi akses militer negara ke bagian-bagian negara yang sulit dikendalikan yang sebelumnya. Daerah ini terisolasi oleh pegunungan yang curam dan gurun yang tidak ramah.
Karena kereta api pasti mengubah bangsa, pengalaman di antara orang Iran sangat bervariasi. Sebagian orang dapat mengunjungi satu tempat dengan mudah. Sedangkan yang lainnya dipindahkan secara paksa oleh konstruksi tanpa menerima kompensasi atas tanah mereka. Penduduk yang mengandalkan pendapatan dari pelancong domestik, sekarang menemukan bahwa kereta api melewati mereka sama sekali. Mereka pun menjadi kehilangan pendapatan.
“Kebanyakan orang Iran sangat membenci proyek kereta api selama periode itu,” kata Koyagi. Mereka membayar pajak yang tinggi untuk membiayai pembangunan jalur kereta api.
Terlepas dari banyaknya keluhan selama pembangunan, Iran merasa sangat bangga dengan kereta api saat ini.
Timur Tengah, potensi wisata dan magnet konflik
Pasca Perang Dunia II, pariwisata di Iran berkembang pesat. Antara 1967 dan 1977, negara ini dianggap sebagai tujuan utama Timur Tengah. Ini mengungguli tempat-tempat seperti Mesir, kata Morakabati.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR