Nationalgeographic.co.id - Assam terletak di bagian timur laut India yang dekat dengan Asia Tenggara dan Tiongkok, memiliki misteri peradaban yang jarang terungkap. Alamnya yang penuh dengan hutan belantara, menyimpan repih batu pasir raksasa, dan temuan terbaru oleh para arkeolog melaporkan jumlahnya telah bertambah.
Ada sekitar 65 batu temuan baru yang diyakini adalah guci raksasa dengan ragam bentuk dan dekorasi. Beberapa di antaranya cukup tinggi dan cenderung silinder, dan mereka ditemukan telah sebagian atau seluruhnya terkubur di dalam tanah.
Para peneliti melakukan survei pada situs itu, dan melaporkan temuannya di jurnal Asian Archaeology hari Kamis, 28 Maret 2022. Penelitian ini melibatkan North-Eastern Hill University, Nagaland University, Archaeological Survey of India, dan Australian National University.
"Pada awalnya tim hanya melakukan survei di tiga lokasi besar yang belum disurvei seara formal. Dari sana jaringan dibuat untuk menjelajahi kawasan hutan lebat di sekitarnya," kata anggota peneliti Nicholas Skopal, kandidat PhD di Australian National University di dalam rilis.
Situs ini sebenarnya sudah ditemukan sejak abad ke-20, penelitian dalam makalah itu dilakukan untuk pencatatan sistematis pada 2020.
Melansir Science Alert, situs guci megalitik ini pertama kali diungkap pada tahun 1929 oleh pejabat kolonial Inggris di India Philip Mills dan John Henry Hutton. Mereka mengutarakan ada enam situs di sekitar Assam, dan salah satu guci berisi potongan tulang yang dikremasi.
Penelitian berlanjut pada 1930-an, ketika antropolog Ursula Graham Bower dari Inggris, bersama penduduk Zemi Naga. Penduduk Zemi percaya bahwa guci itu dibuat oleh orang-orang Siemi yang hilang dengan tujuan pemakaman.
Namun saat tim bergerak di sektiar lanskap, mereka justru menemukan lebih banyak guci batu yang terungkap. "Ini adalah saat kami pertama kali menemukan situs guci baru. Tim hanya mencari di area yang sangat terbatas sehingga kemungkinan akan ada lebih banyak lagi di luar sana, kami hanya belum tahu di mana mereka berada," Skopal melanjutkan.
Kawasan ini berada di area hutan pegunungan yang sulit ditelusuri para peneliti untuk mengungkap situs guci yang potensial. Mereka pun datang mengandalkan masyarakat setempat.
"Guci batu adalah fenomena arkeologi yang unik di Assam, India, dengan fitur serupa juga hadir di Republik Demokratik Rakyat Laos dan Indonesia," tulis para peneliti dalam laporan.
Baca Juga: Temuan Delapan Guci Emas di Kolombia Dikaitkan dengan Kota Legendaris
Baca Juga: Belati Besi dan Tengkorak Manusia Diduga darI Zaman Sangram Shah
Baca Juga: Penemuan Pot-pot Ini Mengungkap Detail Baru Tentang Proses Mumifikasi
Di Indonesia, temuan seperti itu berada di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang terdapat 21 temuan guci batu berasal dari peradaban megalitik. Sedangkan di Laos, jumlah sangat banyak tersebar sekitar 2.000 guci batu dengan ukuran beragam, yang telah diteliti para arkeolog sejak 2016 di provinsi Xieng Khoaung, dan telah terdaftar sebagai Warisan Dunia UNESCO.
Pada konteks guci batu di India, tim yang dipimpin Tilok Thakuria dari North Eastern Hill University, percaya bahwa benda ini digunakan untuk praktik kematian.
"Ada cerita dari orang Naga, kelompok etnis saat ini di timur laut India, menemukan guci Assam yang diisi dengan sisa-sisa kremasi, manik-manik, dan artefak material lainnya," Skopal menerangkan. Dugaan ini juga sesuai dengan konteks temuan situs guci di negara-negara lain, termasuk Laos yang berhubungan dengan ritual penguburan.
"Kami masih belum tahu siapa yang membuat guci raksasa atau di mana mereka tinggal. Ini semua sedikit misteri," lanjutnya. Sebab, mereka belum menemukan kelompok etnis mana pun yang ada di India yang berhubungan dengan guci untuk menjadi kunci warisan budayanya.
"Semakin lama kita menemukan mereka, semakin besar kemungkinan guci-guci itu akan dirusak, karena lebih banyak tumbuhan yang ditanam di daerah ini dan hutan ditebang."
Setelah survei dan pencatatan terhadap situs, para peneliti berharap pemerintah bisa bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk melindungi dan memeliharanya agar tidak rusak.
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR