Nationalgeographic.co.id—Pada dekade 1960-an, seorang tokoh Katolik di suatu desa di Jawa Timur menentang kebijakan agraria. Kebijakan itu mengharuskan pembagian tanah pribadi kepada orang yang tidak memiliki tanah. Tokoh ini menganggap kebijakan itu sebuah penindasan. Dia menuding pemerintah Soekarno yang dekat dengan PKI, merampas kepemilikan pribadi.
Tokoh ini sudah tiada, namun ia menjadi subjek penelitian Grace Leksana. Ia merupakan peneliti sejarah di KITLV dan dosen di Universitas Negeri Malang. Dia mendapati kisah dari anak sang tokoh itu yang bernama Burmudji.
Grace mendapati, bapak dari Burmudji ini sebelumnya adalah mandor perkebunan Belanda. Ia bertugas sebagai pejabat yang menggaji dan menghitung gaji buruh saat itu. Tugas di dipercayakan kepadanya karena ia mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Bisa dibilang, kehidupan bersama keluarganya lebih mapan dan lebih mampu dibandingkan masyarakat biasa.
"Jadi, sejarah keluarga ini bisa membantu saya untuk memahami bagaimana sebenarnya ketegangan antara kelompok kiri dan kanan sebelum '65 sangat dipengaruhi oleh relasi kepemilikan, properti, dan kelas," kata Grace dalam Partihistori, bincang daring yang diadakan oleh Sejarah Lintas Batas (SINTAS), Selasa 12 April 2022.
"Bapaknya ini saja sudah dianggap sebagai elit desa karena pendidikannya, pekerja pegawai kolonial, itu sudah membentuk sebuah kelas tersendiri di desa itu. Ini sebenarnya sebuah contoh bagaimana sejarah keluarga itu memperlihatkan gambaran mikroskopis dinamika desa di tahun 1965 yang kadang enggak bisa, tertutup oleh G30S, penculikan jenderal, dan kekerasan itu sendiri."
Menurut Grace, sejarah keluarga adalah metode penelusuran historiografi agar bisa memperluas dan memperbeasar wawasan. Sebab, semua orang dari kelas sosial apa pun dan gender apa pun, memiliki kisah sendiri pada masa lalu yang tersimpan dalam memori kolektif keluarga.
Makna keluarga yang bisa dipakai dalam istilah dalam metode ini, bisa lebih luas. Keluarga bisa termasuk orang lain yang terlibat di dalamnya, meski secara jarak seperti saudarah jauh, dan yang bukan dari hubungan darah tetapi dekat seperti pembantu rumah tangga atau pengasuh.
"Jadi konteks keluarga itu bisa sangat luwes, fleksibel, lebih dari sekadar hubungan darah, belum lagi ada cerita perceraian, kawin-mawin, dan segala macamnya," ujar Grace.
Pemahaman tentang keluarga sebagai metode, harus dilihat bagaimana konstruksi yang mendefinisikan keluarga itu sendiri, terangnya. Sejarah keluarga dalam periode tertentu bisa memiliki cerita atau dampak dari luar yang memengaruhinya.
Baca Juga: Dendang Lagu yang Merekam Sejarah Kehidupan Rakyat yang Terlupakan
Baca Juga: Warga Surabaya dalam Pusaran Politik Sehari-hari Zaman Hindia Belanda
Baca Juga: Perang Kedongdong, Perlawanan Rakyat Miskin Cirebon Atas Penjajah
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR