Nationalgeographic.co.id—Histori Belanda di Jawa telah berlangsung sejak 1596. Disusul pendirian Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC), sebuah perusahaan perdagangan dengan kantor pusat di Batavia,
Belanda telah memulai pengaruhnya sejak akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20. Namun pernahkan terpikirkan, mengapa bahasa Belanda tidak banyak dipahami atau dikuasai bangsa Indonesia?
Sejak bergaungnya zaman VOC, sejatinya, bahasa Belanda tidak pernah menempatkan dirinya sebagai bahasa pergaulan atau bahasa pengantar dalam urusan perniagaan. Kees Groeneboer menulis dalam bukunya yang berjudul Weg tot het Westen: Het Nederlands vor Indië 1600-1950. Dia mengisahkan alasan tak masifnya penggunaan bahasa Belanda di Indonesia.
"Meskipun memasuki abad ke-18 sudah ditemukannya kurikulum pendidikan berbahasa Belanda, nyatanya pengajaran itu hanya ditujukan pada orang-orang Eropa (bukan pribumi)," tulisnya.
Pendidikan yang dibuat oleh Belanda bagi kaum pribumi, hanya tersedia bagi para elit penganut ajaran Kristen dengan bahasa Melayu sebagai pengantar pembelajarannya. Lanjutnya, "dengan alasan pragmatis, bahasa Melayu semakin banyak digunakan sebagai lingua franca."
Di sisi lain, sekolah-sekolah Kristen Belanda telah masif membumikan bahasa Melayu ketimbang bahasa Belanda sebagai pengikat persatuan pribumi antarsuku maupun antarpulau.
Bertahan hingga pertengahan abad ke-19, pendidikan yang tersedia di Hindia-Belanda hanya ditujukan bagi orang Eropa, terlebih 80 persen diantaranya diberikan kepada orang Indo (Belanda-Jawa).
Para Indo menganggap bahwa bahasa Belanda hanya sebagai formalitas belaka dalam sekolah untuk mengenal bahasa ayah mereka—notabene ayah Indo adalah seorang Belanda.
Baca Juga: Akhir dari Dominasi Monopoli Kejam VOC atas Rempah di Pasar Dunia
Baca Juga: Kisah Tragis Tenggelamnya Kapal Batavia: Gerbang Kastel nan Tak Sampai
Baca Juga: Telisik Istilah 'Duit' yang Populer Sejak Zaman VOC di Nusantara
Baca Juga: Abdoel Rivai, Jurnalis Hindia Berbahasa Melayu di Negeri Belanda
Maklum saja, para Indo dibesarkan oleh ibu-ibu mereka yang kebanyakan berasal dari Jawa. Mereka pun lebih mengenal bahasa Melayu ketimbang bahasa Belanda.
Memasuki 1850, para anak bangsawan hingga priayi Jawa yang menyandang kelas elit sosial, bisa mengenyam pendidikan berbahasa Belanda lewat Sekolah Dasar rintisan Europese Largere School (ELS).
Meskipun demikian, dari 3.500 murid yang dapat bersekolah di ELS, hanya 50 murid saja yang merupakan kaum elit pribumi. Sepertinya, pemerintah Belanda memandang sebegitu berartinya bahasa Belanda bagi kaum pribumi, sehingga mereka membatasi bahasa Belanda agar tidak dipahami apalagi dikuasai oleh kaum pribumi.
Dalam roman Bumi Manusia yang digubah Pramoedya Ananta Toer, dilukiskan juga bahwa orang-orang Belanda tak mau bahasanya digunakan oleh kaum pribumi, dan memilih untuk berbahasa Melayu jika harus berbicara dengan pribumi.
Kees Groeneboer mencatat, ketika memasuki 1900-an, hanya 5.000 penduduk pribumi yang menguasai bahasa Belanda. Hal ini setara dengan 1:8.000 penduduk saja yang mampu menguasainya.
Berbeda setelah memasuki abad ke-20, pemerintah Belanda mulai gencar mengenalkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan Eropa untuk pribumi.
Bahasa Belanda mulai banyak digunakan dalam kurikulum pendidikan pribumi. Namun, pascakekalahan perang atas Jepang pada 1942, dominasi bahasa Belanda mulai tersisih berganti menjadi bahasa Jepang. Begitupun zaman awal kemerdekaan, bahasa Belanda semakin dilupakan.
Source | : | Weg tot het Westen (1993) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR