Temuan cengkih Maluku berusia lebih dari 3.500 tahun di dapur rumah dalam tembok kota kuno Suriah.
Nationalgeographic.co.id—Terqa, nama yang membuat kita menerka-nerka. Toponimi ini merujuk pada kota kuno yang menjulang di bantaran barat Sungai Eufrat. Pertahanannya mengandalkan tiga lapis dinding batu yang kokoh dan konsentris, dengan menara-menara pengawas.
Lapisan pertahanan terluarnya adalah parit lebar. Kota kuno ini dibangun sekitar 5.000 tahun yang lalu. Luasnya setara 84 lapangan sepakbola. Sisi utara kota ini dibatasi oleh dataran Khabur, sedangkan di sisi selatannya terhampar tanah aluvial Mesopotamia.
Kota ini mujur karena berada di jantung Bulan Sabit Subur, yang membentang dari Teluk Persia sampai lembah Sungai Nil.
Sebuah kuil pemujaan Dewi Ninkarrak berada di sisi tenggaranya. Di seberang kuil itu terdapat rumah mungil tipe kelas menengah. Rumah ini memiliki tiga kamar yang menghadap ke halaman tengah. Di dapurnya terdapat buli-buli berisi rempah,
tungku, dan tempat sampah. Sang pemilik bernama Puzurum, pengarsip pada zaman raja Yadikh-Abu yang hidup pada abad ke-18 Sebelum Masehi.
Suatu hari yang apes, rumah mungilnya terbakar habis. Puzurum kehilangan rumahnya. Hanya dewa yang tahu, apakah dia tewas atau selamat dalam kebakaran itu. Cerita tentang sang pengarsip dan kuil itu hilang seiring bergantinya peradaban Terqa.
Ribuan tahun berselang, Terqa telah berganti wajah. Pada abad ke-16, Sebastian Munster membuat peta Mesopotamia dalam Tabula Asiae IIII. Peta ini berdasar Claudius Ptolomaeus dalam Geographia abad ke-2. Kendati “Terqa” tidak dijumpai lagi, terdapat toponimi “Auzara” di peta itu, yang mirip dengan toponimi kota di Suriah kini: Tell Ashara.
Sejak 1910, arkeolog dari berbagai institusi dan universitas mencoba mengungkap kembali kota kuno Terqa. Namun, temuan fantastisnya baru tersingkap dalam penelitian sepanjang 1974-1986.
“Penggalian di sini telah menghasilkan bukti arsitektur monumental dan lantai tebal, bahkan beberapa di antaranya diaspal,” tulis Renata M. Liggett, epigraf dari University of California di Los Angeles, Amerika Serikat. Dia menulis laporan kegiatan lapangannya dalam “Ancient Terqa and its Temple of Ninkarrak: the Excavations of the Fifth and Sixth Seasons”.
Catatan penelitian ini terbit di jurnal Near East Archaeological Society Bulletin pada 1982. Perihal temuan kuil dan rumah Puzurum, Renata menambahkan, “Hal ini membawa kita untuk berharap akan sebuah bangunan publik, mungkin sebuah pusat administrasi.”
Pada 1976-1978, situs Terqa kuno telah digali oleh tim arkeolog di bawah arahan Giorgio Buccellati dan istrinya, Marilyn Kelly-Buccellati. Giorgio merupakan arkeolog asal Italia, yang mendirikan The International Institute for Mesopotamian Area Studies (IIMAS) pada 1973. Kini dia adalah Professor Emeritus dari Department of Near Eastern Languages and Cultures dan Department of History di University of California. Sedangkan, Marilyn pernah mengajar arkeologi dan sejarah seni di California State University, Los Angeles. Kini, dia menjadi Visiting Professor di Cotsen Institute of Archaeology, University of California.
Pasangan suami istri itu pernah menyingkap reruntuhan rumah Puzurum dalam proyek penelitian arkeologi mereka. Laporannya berjudul “Terqa The First Eight Seasons” yang terbit dalam jurnal Les Annales Archeologiques Arabes Syriennes pada 1983.
“Temuan epigrafi tunggal yang paling penting dalam hal ini adalah arsip Puzurum,” tulis mereka. “Kami telah menjelaskan stratigrafi tentang keruntuhan akibat kebakaran di area yang digunakan untuk penyimpanan barang-barang …”
Penelitian Giorgio dan Marilyn menerangkan bahwa rumah Puzurum yang terbakar dan ambruk itu tidak pernah dibangun kembali. Reruntuhan itu dibiarkan tertimbun rumah yang dibangun tak lama berselang. “Tidak ada bukti siapa pun di zaman kuno yang mencari puing-puing setelah kebakaran, meskipun bangunan itu segera ditempati kembali.”
Tim arkeolog menemukan banyak tablet terakota beraksara paku milik Puzurum. Api telah membuat Puzurum bernasib buntung. Sebaliknya, api telah membuat tim arkeolog beruntung. Pasalnya, api membakar tablet-tablet yang rapuh itu menjadi lebih keras sehingga bisa melintasi zaman.
“Di sebagian besar teks itu adalah seorang pria bernama Puzurum yang aktif dalam transaksi,” ungkap Giorgio dan Marilyn. “Dan, untuk alasan ini kami menamai struktur tersebut dengan namanya”—Rumah Puzurum.
Tablet terakota itu seukuran telapak tangan kita, bisa digenggam. Sebagian besar berisi kontrakkontrak pada zaman Yadikh-Abu, seorang Raja Khana, ungkap Giorgio. Angka tahun pada tablet setara 1721 Sebelum Masehi, barangkali merujuk pada tahun kebakaran.
Tablet-tablet itu menyiratkan kaitan antara Yadikh-Abu dan Samsu-iluna, penerus Hammurabi dari Babilonia yang terkenal. Samsu-iluna mencatat perang yang terjadi pada 1721 SM melawan Yadikh-Abu, yang sekarang kita kenal sebagai raja Terqa selama kehidupan Puzurum. Boleh dikata, Kerajaan Babilonia dan Kerajaan Khana merupakan kerajaan adikuasa pada masa itu.
Tablet-tablet milik Puzurum itu terkait kontrak pembelian dan penjualan tanah. Sebagian tentang prosedur administrasi dan perbankan ekonomi yang terkait kuil Ninkarrak di seberang rumahnya. Arsip-arsip itu menandakan bahwa dia memiliki kenalan terpandang pada masa Raja Yadikh-Abu.
Setidaknya terdapat 550 tablet paku asal Terqa yang disimpan di Museum Deir ez-Zor, sebuah museum di jantung Suriah yang didedikasikan untuk arkeologi dan sejarah Mesopotamia.
Tim arkeolog juga menemukan sekitar 76 benda di lantai dapur Puzurum. Sebagian besar adalah bulibuli keramik yang ditata layaknya penyimpanan di dapur rumah kita, penggiling, dan peralatan makan yang bagus. Hal yang menarik, temuan buli-buli keramik kecil berisi cengkih yang terarangkan.
“Salah satu buli-buli berisi beberapa cengkih,” ungkap Giorgio dan Marilyn. “Ini adalah penemuan yang sangat penting karena cengkih hanya tumbuh di Timur Jauh, dan tidak ditemukan bukti di Barat sebelum Pliny pada zaman Romawi.”
Catatan orang Eropa pertama tentang cengkih berasal dari Gaius Plinius Secundus, yang hidup pada 23–79 Masehi. Pliny the Elder, julukannya, menulis buku ensiklopedia bertajuk Naturalis Historia, yang rampung dua tahun sebelum kematiannya. “… di India, biji-bijian lain yang sangat mirip dengan lada, tetapi lebih panjang dan lebih rapuh; dikenal dengan nama karyophyllon,” ungkap Pliny. “Dikatakan bahwa biji-bijian ini diproduksi di hutan keramat di India; kami mengimpornya untuk parfum aromatik.”
Berdasar kamus Merriam-Webster, kata karyophyllon merupakan bahasa Latin lama untuk caryophyllus. Maknanya merujuk pada cengkih atau minyak atsiri dari cengkih.
Sebutan “India” sejatinya merujuk pada dunia timur. Pada masa itu tanaman cengkih (Syzygium aromaticum L.) hanya tumbuh di gugusan lima pulau kecil bergunung api di Nusantara kita: Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Jack Turner turut mengungkapkan cerita cengkih Terqa dalam bukunya Spice, The History of Temptation, yang belakangan terbit dalam edisi bahasa Indonesia, Sejarah Rempah, Dari Erotisme sampai Imperialisme.
Sejumput cengkih di dapur Puzurum menjadi temuan sangat penting untuk sejarah rempah. Kita dengan mudah bisa membayangkan betapa kota kuno Terqa memiliki ruang lingkup hubungan perdagangan antarbelahan dunia. Akan tetapi, kita masih sulit membayangkan cengkih yang melanglang buana belasan ribu kilometer sebelum manusia mengenal besi. Cengkih dipetik dari pohon asalnya yang terpencil dan basah di Maluku, sampai akhirnya tiba di gurun tandus Suriah. Apakah cengkih itu melayari bentangan Samudra Hindia, ataukah menyusuri sepanjang garis pantai Asia?
Baca Juga: Histori Eropa dalam Perburuan Rempah yang Mendorong Neo-Imperialisme
Baca Juga: Jalur Rempah Utara-Selatan: Simpul Filipina, Tiongkok, dan Nusantara
Baca Juga: Alexo de Castro: Orang Maluku yang Ditahan di Meksiko karena Agama
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Jaringan Dagang dan Dakwah Islam di Nusantara
“… Hanya Tuhan yang tahu,” ungkap Turner. Dia berkisah bahwa pada masa Puzurum, kelima pulau itu “tidak memiliki eksistensi di alam khayal sekalipun.” Dia melanjutkan, “Saat itu adalah masa ketika orang Mesopotamia menulis cerita yang seragam tentang pahlawan Gilgamesh, ketika orang-orang primitif Humbaba mendiami hutan sidar di Libanon, dan ketika jin serta makhluk setengah-singa setengah-manusia menjelajahi bumi.”
Rempah-rempah, termasuk cengkih, memang komoditi yang asal-usulnya pernah dirahasiakan oleh para pedagang Arab. Kemisteriusannya baru saja terungkap saat orang Eropa menjejaki kepulauan rempah di Maluku pada abad ke-16. Artinya, lebih dari dua milenium setelah Puzurum.
Orang Eropa pertama yang berjejak di Ternate, salah satu pulau penghasil cengkih, adalah seorang asal Italia bernama Ludovico di Varthema. Jurnalnya bertajuk Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese, terbit pertama kali di Roma pada 1510.
Dua tahun kemudian, armada Portugis berhasil sampai ke Maluku. Segera, pulau-pulau itu menjadi harta rebutan bagi kerajaan-kerajaan yang jaraknya terpisah setengah perjalanan dunia.
“Di sini kemudian kita memiliki bukti perdagangan jarak jauh dari komoditas yang sangat rapuh yang membutuhkan pasar khusus,” tulis Giorgio dan Marilyn. “Semua begitu luar biasa karena temuan itu berasal dari rumah tangga kelas menengah yang sederhana.”
Kendati pernah sohor dan menjadi rebutan, gugusan pulau itu kini kembali terlupakan oleh dunia. Pulau-pulau itu hanya setitik dalam lembaran peta Planet Bumi kita. Orang zaman kiwari lebih mengenal Venesia, sebuah pulau mungil di Italia; kepulauan Zanzibar di Tanzania; atau negeri kepulauan Maladewa di tepian Samudra Hindia.
Namun, barangkali, kita pun belum tentu menerka dengan benar letak persisnya kelima pulau itu dalam peta buta—seperti Puzurum dari Terqa.
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR