Misteri si rempah emas, sejak kapan pemanfaatannya dalam tradisi Nusantara?
Oleh Dani Kosasih
Nationalgeographic.co.id—Satu sore, dapur rumah kami penuh dengan tapak tangan berwarna kuning. Mulai dari lantai, kain lap tangan hingga tempat mencuci tangan semuanya terkontaminasi warna kuning cerah. Saat diselisik, Nirma Kosasih, perempuan 32 tahun, ternyata sedang terburu-buru membuat racikan minuman yang akan dia konsumsi untuk menghilangkan rasa nyeri pada perutnya akibat datang bulan.
Dengan bahan dasar kunyit, dia meracik ramuan rempah yang dicampur madu untuk diminum. Biasanya, ramuan ini akan memberikan khasiat yang cukup cepat untuk menghilangkan rasa nyeri yang dia rasakan. Khasiatnya bekerja 15 hingga 20 menit setelah jamu tersebut melewati kerongkongannya.
“Minum air campuran kunyit dan madu ini sudah jadi rutinitas saya saat perut sakit karena datang bulan,” tuturnya.
Lalu apa itu kunyit? Dilansir dari laman Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kunyit atau Curcuma longa adalah tanaman semak yang umumnya berwarna kuning atau cokelat tua.
Di Indonesia, kunyit dikenal dengan banyak nama seperti: kakunye di Enggano, kunyet di Adoh, kuning di Gayo, kunyet di Alas, hunik di Batak, odil di Simalur, undre di Nias, kunyit di Lampung dan di Melayu, kunyir di Sunda, kunir di Jawa Tengah, serta temo koneng di Madura.
Hingga saat ini, sulit sekali menemukan literatur yang bisa menceritakan awal masuknya kunyit di Indonesia. Penggunaannya yang beragam masih menjadi misteri bagi banyak peneliti.
Ary Budiyanto, Antropolog di Universitas Brawijaya, Malang, mengakui bahwa mencari tahu penggunaan awal kunyit di Indonesia seperti menebak mana yang terlebih dahulu ada, telur atau ayam? Kesulitan ini disebabkan karena minimnya catatan kuat tentang sejarah penggunaan kunyit di Indonesia.
Dia meyakini bahwa penggunaan kunyit sebagai pewarna makanan pada ritual-ritual tertentu—seperti tumpeng untuk grebeg gunungan di Kraton Jawa, khususnya di Keraton Demak—kemungkinan sudah sejak abad ke-15. Kendati demikian, perkiraan masa ini tidak bisa dibuktikan dengan kuat karena tidak ada catatan literatur yang memastikannya.
“Meskipun belum ada catatan kuat, tapi mungkin saat ini kita masih mendengar semua cerita itu melalui folklore atau cerita rakyat yang dipercaya banyak orang,” ungkapnya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR