Nationalgeographic.co.id—Umumnya, hewan di Bumi memiliki dua jenis kelamin, jantan dan betina. Adalah hal lumrah bagi kita ketika mendengar keadaan tersebut. Apa jadinya ketika suatu spesies belalang tidak berhubungan seks, namun tetap dapat berkembang biak?
Dilansir dari phys.org, penelitian baru oleh Michael Kearney dan Ary Hoffmann, diterbitkan dalam jurnal Science berjudul Parthenogenesis without costs in a grasshopper with hybrid origins, yang terbit pada 2 Juni 2022. Penelitian ini menunjukkan belalang hijau Warramaba virgo muncul sekitar 250.000 tahun lalu, dari persilangan antara dua spesies belalang.
“Kami telah mempelajari belalang ini selama 18 tahun terakhir untuk memahami bagaimana mereka mengembangkan reproduksi aseksual, dan bagaimana perubahan tersebut berpengaruh pada kemampuan mereka untuk bertahan hidup serta reproduksi.” terang Michael Kearney
Belalang hijau Warramaba virgo adalah salah satu spesies "partenogenetik" yang langka, di mana telur dapat berkembang menjadi embrio tanpa dibuahi oleh sperma. Ia hidup di bagian selatan zona kering Australia, dengan memakan pohon mulga serta semak.
Belalang ini, pertama kali dipelajari pada 1962 oleh Michael White, seorang ahli biologi evolusioner dan ahli genetika. Mulanya, putra White bernama Nicholas, menemukan mereka di dekat Kota Hillston, New South Wales. Dia mencatat, hanya menemukan betina dari spesies tertentu.
White kemudian melanjutkan untuk menunjukan bahwa spesies sama hadir 2.0000 km jauhnya di Australia Barat, bersama dengan spesies lainya (baru-baru ini bernama W. whitei).
W. virgo ternyata memiliki asal hibrida, yaitu persilangan antara W. whitei dan spesies W. flavolineata, ribuan tahun lalu. Ahli biologi yang mempelajari evolusi, sering menganggap kelangkaan spesies seperti partenogenetik seperti W.virgo sebagai teka-teki utama.
Spesies partenogenetik memiliki gen yang hampir identik. Hal ini berdampak pada kemungkinan lemahnya tingkat adaptasi dengan lingkungan ketika mengalami perubahan. Terlebih lagi, partenogen dapat mengakumulasi mutasi buruk yang dapat mempengaruhi kondisi mereka.
Namun, apakah ini akan menjadi kerugian yang berarti? Apakah mereka mempercepat kepunahan dari setiap partenogen yang terbentuk?
Kearney mengungkapkan, spesies partenogenetik memiliki keuntungan jika keragaman genetiknya didorong oleh hibridisasi berulang antara dua spesies induk, menghasilkan pasukan klon yang berbeda. “Menggabungkan genom dari dua spesies mungkin juga membuat partenogen lebih kuat,” terangnya.
“Kekuatan hibrida seperti itu memang terjadi pada beberapa hewan, seperti bagal (persilangan antara kuda dan keledai). Bagal memiliki kekuatan dan daya tahan yang jauh lebih besar daripada spesies induknya,” imbuhnya.
Baca Juga: Perusahaan Makanan Asal Israel Kembangkan Makanan Dari Belalang
Baca Juga: Mumi Belalang Terawetkan dalam Lukisan Olive Trees Karya Van Gogh
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Spesies Serangga Pencinta Panas Kian Meningkat
Baca Juga: Fosil Serangga Sayap Renda ini Terjebak dalam Damar Puluhan Juta Tahun
Peneliti telah memeriksa lebih dari 1.500 penanda genetik W. Virgo. Hasilnya, hampir tidak ditemukan variasi partenogen dibandingkan dengan spesies induknya.
Dengan jelas, ini menunjukan bahwa hanya ada satu perkawinan antara W. whitei dan W. flavolineata untuk memproduksi W.virgo di tempat yang pertama. Dalam penelitianya, Kearney memperkirakan bahwa perkawinan terjadi sekitar 250.000 tahun yang lalu. Hal ini didasari oleh jumlah dan sifat mutasi yang terjadi pada W. virgo.
Peneliti juga menemukan, bahwa partenogen tidak memiliki keunggulan dibandingkan spesies induknya dalam berbagai sifat fisiologis, seperti toleransi terhadap panas dan dingin, laju metabolisme, jumlah telur, ukuran telurnya, waktu penetasan dan berapa lama mereka hidup. Namun, W. virgo secara alami menghasilkan keturunan betina dua kali lebih banyak.
“Kesimpulan dari penelitian kami adalah bahwa W. virgo telah menjadi partenogenetik tetapi tanpa kerugian. Ia juga berhasil menyebar dari sisi barat negara ke sisi timur, tidak seperti spesies induknya,” pungkas Kearney.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR