Nationalgeographic.co.id - Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021, mengungkap ada 28,3 persen dari total sampah di Indonesia adalah sisa makanan. Jumlah itu menjadikan sampah makanan jadi tertinggi di antara jenis lainnya.
Sayangnya, sampah jenis organik, terutama dari makanan laut (seafood), bisa mengancam bentang alam dan iklim.
"Saya pernah diundang ke Kalimantan Timur, mereka di Bontang juga punya [pengalengan kepiting]," kata Ronny Martien, dosen dan peneliti di Departemen Farmasetika Universitas Gadjah Mada dalam Bincang Redaksi-49 bertajuk Kitosan: Berkah di Balik Limbah.
Namun, ia mengatakan, industri pengalengan di sana menghasilkan sampah berupa cangkang kepiting dan dibuang ke laut.
"Problemnya, setelah beberapa saat lautnya mengalami pendangkalan karena [cangkang kepiting] enggak bisa diolah. Mereka kan banyak kampung-kampung di tengah laut—mereka kapal-kapalnya tidak bisa mendarat karena ada banyak cangkang kepiting di situ. Itu jadi masalah," tambahnya.
Banyak orang yang tidak tahu bahwa cangkang kepiting dan krustasea lainnya bisa diolah menjadi kitosan. Kepiting memiliki kitin yang berfungsi untuk melindungi tubuhnya. Kitin ini diolah dalam proses asam-basa, termasuk untuk menghilangkan proteinnya yang kerap menyebabkan alergi bagi sebagian orang.
Ronny sangat ahli tentang kitosan. Dia mengembangkan produksi kitosan yang masih sedikit diketahui manfaat dan khasiatnya di Indonesia. Padahal, produksi kepiting di Indonesia sangat melimpah dan kerap mengekspornya ke luar negeri.
"Kitosan itu belum dimanfaatkan karena merupakan relatif baru," kata Ronny. "Yang banyak memanfaatkannya justru Korea Selatan untuk kosmetik. Semua udang yang diekspor ke Korea itu enggak boleh dikupas. Pantai mereka kan enggak selebar kita. Dengan teknologi sederhana asam-basa, dari nothing to something. Harus ada pengembangan aplikasinya."
Tidak hanya sekadar meneliti, ia pun berusaha memproduksinya agar bisa dirasakan langsung manfaatnya pada masyarakat lewat Chitafood, Chitagro, dan Chitasil.
Lantas, apa saja manfaat kitosan?
"Kenapa sih Korea suka sekali dengan Kitosan? Karena kitosan itu sangat memiliki antioksidan yang tinggi," terang Ronny. Selama ini, kita mengenal Korea Selatan sebagai produsen berbagai produk kecantikan.
Ia menjelaskan, kitosan bisa melapisi kulit dengan baik, sehingga cocok untuk tabir surya dan pelembab kulit. "Isunya mengontrol mikroba dari kulit. Biasanya ke arah sana. Itu banyak digunakan. Saya sendiri di farmasi mulai mengembangkan itu," paparnya.
Cara kerja yang sama juga bisa diterapkan sebagai sabun dan sampo. Ia dapat menghambat khamir penyebab ketombe dan rambut rontok.
Penerapan kitosan di bidang pertanian banyak dipakai di Malaysia dan Vietnam sebagai pupuk. Kitosan memang tidak bisa terserap oleh tanaman, tetapi bekerja dengan memberantas bakteri penghambat di bawah tanah dan menarik akar agar bisa menyerap zat yang ada pada tanah.
Selain menjadi pupuk, kitosan juga bisa digunakan sebagai pencegah serangan hama.
"Selama ini kan kalau hama akan gampang [dibasmi] dengan pestisida. Itu enggak akan selesai," terang Ronny. Kitosan bisa dilapisi pada tanaman dengan penyemprotan. Pelapisan itu mencegah hama menyerang tanaman karena dapat membentuk bio-membran.
"Ibaratnya melawan nyamuk--kita bisa pakai obat nyamuk bakar dan elektrik. Tapi kan nyamuk akan selalu datang, dan Anda akan beli itu terus. Tapi kalau Anda beli kelambu, nyamuknya boleh banyak tapi tidak akan gigit Anda karena tidak punya kemampuan menerobos kelambu itu," jelasnya.
Di bidang farmasi, kitosan nanopartikel bisa digunakan untuk meningkatkan stabilitas dan ketahanan obat. Kitosan pun tidak punya efek samping jika tertelan karena biopolimernya. Di dalam tubuh, kitosan akan dibuang karena tidak bisa diserap sistem pencernaan.
Ronny pernah mengembangkan penyanitasi tangan dari ekstrak sirih. Ketika digabungkan dengan kitosan, ekstrak sirih yang gampang rusak bisa lebih awet dan stabil, sehingga kemampuan antibakterinya makin efisien.
Buah-buahan dan sayuran kerap kali terbuang karena busuk. Kitosan pun menjadi sarana yang baik untuk memperlambat pematangannya agar makanan bisa sampai di tangan konsumen dengan baik.
Baca Juga: Dibuang Sayang, Kegiatan Barter.in Jadi Solusi Limbah Pakaian
Baca Juga: Tak Perlu Beli Baru, Ikuti Gerakan Saling Bertukar oleh SayaPilihBumi
Baca Juga: Ekonomi Sirkular: Siasat Mewajibkan Limbah Didaur Ulang di Segala Lini
Baca Juga: Kurangi Beban Bumi, Menyulap Sisa Makanan Menjadi Pupuk Kompos
Percobaan pada pisang pernah dilakukan oleh peneliti Sekolah Ilmu Tinggi dan Teknologi Hayati Insitut Teknologi Bandung Fenny Martha Dwivany. Kitosan yang melapisi pisang bisa membantu memperlambat pematangan selama tujuh hingga sembilan hari.
"Dengan adanya kitosan, oksigennya jadi susah masuk. Dengan pelapisan kitosan berkurangnya oksigen, pematangan melambat," ujar Fenny di forum yang sama.
Selain mengandalkan kitosan, ia bahkan mengembangkan tempat penyimpanan pisang terbuat dari bambu. Wadah bambu sebagai wadah pisang sebenarnya sudah umum ditemukan di Bandung, terang Fenny. Kali ini ia memodifikasinya dengan kertas semen.
"Ternyata, pisang dikasih kitosan ini kita taruh di chamber bambu ini jadi lebih delay lagi. Oksigennya berkurang ketika kami memonitori," pungkasnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR