Nationalgeographic.co.id—Soekarno berpikir begitu kerasnya. Pengaruh westernisasi membawa gelombang musik Barat ke dalam industri musik nasional. Ketahanan budaya bangsanya tengah diuji.
Sang Presiden dengan tegasnya membendung pengaruh musik Barat yang mencoba masuk ke lapisan masyarakat.
"Di Bandung dan kota-kota besar lain, banyak tempat ballroom dan sanggar-sanggar dansa Barat terpaksa tutup," tulis Daniel Antonio Milán Cabrera dalam jurnal Sorai berjudul Pengaruh Musik Amerika Latin Terhadap Indonesia yang terbit pada 2020.
Soekarno menerbitkan larangan terhadap musik ala Barat, sebagaimana disampaikan dalam pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita pada tahun 1959: "…kenapa di kalangan engkau tidak banyak yang menentang imperialisme kebudayaan?"
"Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock and roll - rock and roll-an, dansi-dansian ala cha cha cha, musik musikan ala ngak ngik ngok gila-gilaan dan sebagiannya lagi […] Pemerintah akan melindungi kebudayaan nasional dan membantu berkembangnya kebudayaan nasional," lanjutnya.
Imbas dari pidatonya, impor film-film Barat dan India mulai dibatasi pemerintah. Orkes Melayu yang mengandung unsur musik Latin dan India, mendapat kesulitan untuk mengadakan pertunjukan.
Sebaliknya, bapak proklamator telah menyusun strategi untuk membangun ketahanan budaya nasional. "Demi menguatkan musik tradisional Indonesia, Soekarno mendirikan Konservatori Karawitan Indonesia pada tahun 1950," sambung Cabrera.
Upaya lainnya yang ditempuh adalah dengan membuatkan perusahaan rekaman. Akhirnya, didirikanlah perusahaan rekaman Lokananta di tahun 1955.
Perusahaan rekaman yang berlokasi di Solo itu difungsikan untuk merekam banyak lagu daerah yang kemudian disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai upaya untuk membangun hiburan daerah.
Selain sebagai wacana hiburan daerah, Lokananta juga merekam banyak lagu daerah yang berguna membumikan kebudayaan bangsa. Hal itu menjadi respon untuk menjawab tantangan westernisasi musik di Indonesia.
Awalnya, "Lokananta memungut biaya produksi vynil (piringan hitam) untuk menayangkan transkripsi siaran radio untuk RRI dan tidak dijual ke publik," tulis Muadz.
Ia menulis dalam Proceeding ICTESS berjudul Media Management of State Music Recording (Case Study Music Recording Lokananta Surakarta) yang terbit pada tahun 2021.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memutuskan bahwa Lokananta dapat menjual produksi rekamannya kepada publik.
Selama di bawah naungan Departemen Penerangan RI, studio rekaman itu tercatat sebagai salah satu pionir industri musik Indonesia dan pernah menguasai jagat industri musik Indonesia pada dekade 1970-1980-an.
Pada tahun 1965, akibat dari wejangan Ki Hajar Dewantara yang mengatakan perlunya diadakan pengganti musik yang digandrungi kawula muda, diterbitkan album Mari Bersuka Ria dengan irama Lenso.
Album fenomenal yang laku keras ini, nyatanya merupakan polesan tangan Soekarno sebagai upaya sang presiden untuk menyaingi tarian Latin dan rock and roll yang marak kala itu.
Baca Juga: Mari Bersuka Ria: Lagu Fenomenal Ciptaan Soekarno Menjelang Gestapu
Baca Juga: Dari Redupnya Lampu Minyak dan Buku, Soekarno Menjelma Negarawan
Baca Juga: Takdir Istimewa Dipanagara dan Soekarno Sebagai Putra sang Fajar
Baca Juga: Kunjungan Singkat dan Kisah Lodeh Buatan Hartini yang Memikat Soekarno
Selain itu, Lokananta juga menerbitkan banyak piringan hitam yang memperdengarkan lagu khas Indonesia nan melegenda. Sebut saja lagu Bengawan Solo milik Gesang yang direkam dan disimpan di sana.
Saat ini, Lokananta tercatat sebagai bangunan cagar budaya yang memiliki lebih dari 5.672 piringan hitam musik etnis atau folk dari seluruh Indonesia, dan lagu-lagu pop lama Indonesia.
Museum ini juga memiliki koleksi rekaman orkes keroncong dan gamelan terbesar (Jawa, Bali, Sunda, bahkan Batak), bersama dengan rekaman pidato pertama presiden pertama Indonesia Sukarno dan versi asli lagu-lagu kebangsaan.
Sejatinya, keberadaan Lokananta dalam panggung sejarah telah membuktikan upaya keras Soekarno dalam membangun ketahanan budaya bangsa lewat seni musik tradisional dan kebangsaan.
Source | : | Sorai: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Musik |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR