Nationalgeographic.co.id—Pesisir utara Jawa sejak masa kolonial, sudah dikenal sebagai daerah rawan banjir. Di Pemalang misalnya, tercatat pada abad ke-19 adanya tentang informasi tentang banjir yang menerjang sebagian daerah tersebut.
"Memang, jika dilihat dalam rentang waktu yang lebih panjang, maka tingkat curah hujan di Pemalang cenderung fluktuatif," tulis Ilham Nur Utomo dalam Prosiding Balai Arkeologi Jawa Barat berjudul Banjir di Pemalang Masa Kolonial Abad Ke-20 yang terbit tahun 2020.
Curahnya kadang tinggi dan kadang lebih rendah dari daerah lainnya di Pulau Jawa. Keresidenan Pekalongan—termasuk Pekalongan di dalamnya—pada musim hujan Desember 1932 justru mengalami kekeringan.
Banjir menjadi bencana yang sering melanda Pemalang. Pada rentang tahun 1905-1930-an, tercatat banjir menerjang daerah yang berdekatan dengan sungai dan bendungan, serta daerah pesisir yang ketinggian tanahnya relatif rendah.
Terjadi bencana pada Februari 1886, sebagaimana tercatat dalam De Nieuwe Vorstenlanden, banjir bandang menerjang Pemalang, merendam sawah, perkebunan tebu, Jalan Pos (postweg), dan merusak tanggul di beberapa sungai.
"Tinggi air yang menerjang mencapai ketinggian 4 meter, membuat penduduk yang terdampak harus mengungsi ke daerah yang lebih aman," tulisnya.
Hujan lebat yang terus turun di daerah pegunungan, membuat sebagian wilayah Pekalongan di dataran rendah menjadi terendam banjir.
Terjangan banjir turut menjangkau Comal, yang terletak di sebelah barat Pekalongan. Dilaporkan bahwa tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, tetapi menyebabkan permukiman dan lahan perkebunan warga terendam.
"Kehidupan masyarakat sebagai korban terdampak pun tentu terganggu dengan adanya banjir yang merendam permukiman mereka," terus Ilham.
Dalam surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie juga disebutkan bahwa pada tahun 1908, jalur trem Semarang - Cirebon (Stoomtram Maatschappij) hancur di atas lahan kosong seluas +500 meter sebagai dampak dari banjir tersebut.
Mobilitas pemerintah Hindia Belanda dan pengangkutan komoditas perkebunan yang mengandalkan moda transportasi trem pun menjadi terhambat. Banjir pada masa itu terjadi pula hingga ke Brebes selama berhari-hari.
"Fenomena banjir pada tahun 1908 ini tergolong unik karena sungai-sungai besar di wilayah Pemalang, Tegal, dan Brebes meluap dalam waktu bersamaan," lanjutnya.
Pada Februari 1918, luapan Sungai Rambut merendam daratan Suradadi dan Pemalang. Diberitakan dalam surat kabar sezaman bahwa daerah itu terlihat seperti laut, banyak rumah hancur, penduduk melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi, dan jalur trem rusak parah.
Jika melihat daerah terdampak banjir Sungai Rambut, maka seringkali terjadi di daerah yang berdekatan dengan hilir sungai tersebut, berdekatan dengan Laut Jawa. Seluas mata memandang, akan terlihat seperti hamparan laut.
Baca Juga: Seribu Sapi Ditumbalkan Tarumanegara demi Cegah Banjir Jakarta
Baca Juga: Kabar Cuaca: Waspada, Bencana Alam Terjadi di Berbagai Belahan Dunia
Baca Juga: Kiat Siaga Bencana Banjir dari National Geographic untuk Indonesia
Pada tahun 1930, dikeluarkan anggaran f. 18.756 (gulden) oleh pemerintah kolonial di Karesidenan Pekalongan, di mana Regent Pemalang menginisiasi untuk melakukan pembenahan kota yang porak poranda usai bencana.
Kesadaran pemerintah kolonial terhadap bencana banjir di Pemalang juga terlihat pada tahun 1937. Mereka mengeluarkan anggaran sebanyak f. 3.000 untuk memperbaiki Bendung Nambo yang rusak akibat terjangan banjir.
Perbaikan dimulai pada akhir musim kemarau, waktu yang sangat singkat untuk perbaikan karena musim hujan segera tiba. Hal itu memaksa para buruh untuk bekerja ekstra pada malam harinya.
Source | : | Prosiding Balai Arkeologi Jawa Barat |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR