Nationalgeographic.co.id—Paris, ibu kota Prancis, adalah salah satu kota paling populer di dunia dan kaya akan sejarah. Kota ini adalah rumah bagi Menara Eiffel, Arc de Triomphe, Katedral Notre-Dame, dan Louvre, museum yang paling banyak dikunjungi di dunia.
Namun, terlepas dari kekayaan budaya kota, kelezatan arsitektur, dan restoran yang luar biasa (saat ini memiliki lebih dari 90 restoran bintang satu Michelin), beberapa wisatawan mendapati diri mereka tidak dapat menikmati perjalanan ke Paris. Sebagian kecil dari mereka yang pergi ke The City of Light mengalami "sindrom Paris," suatu kondisi psikologis dengan gejala-gejala mencakup mual, muntah, halusinasi, dan peningkatan detak jantung.
Tapi apa sebenarnya sindrom Paris itu? Siapa yang cenderung terpengaruh olehnya, dan mengapa?
Meskipun tidak diindeks dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), sindrom Paris diakui oleh banyak ahli sebagai fenomena nyata, meskipun jarang terjadi. Menurut Mathieu Deflem, seorang profesor sosiologi di University of South Carolina, sindrom Paris adalah "paling umum di antara turis-turis Jepang". Lalu, mengapa orang Jepang begitu rentan terhadap sindrom ini?
"Kita berbicara tentang sebuah budaya yang, secara historis, memiliki sistem kepercayaan dan lintasan perkembangan yang sama sekali berbeda dari tempat-tempat di Eropa," ujar Rodanthi Tzanelli, seorang profesor sosiologi budaya di University of Leeds di Inggris, seperti dikutip dari Live Science. Perbedaan budaya ini, serta harapan romantis yang mungkin tidak terpenuhi, dapat menjelaskan mengapa para pengunjung Jepang berisiko tinggi terkena sindrom Paris.
Sindrom Paris harus dianggap sebagai bentuk gegar budaya (culture shock) yang ekstrem, kata Deflem. Dalam kasus yang sangat parah, gegar budaya dapat menyebabkan orang merasa disorientasi, depresi, mudah tersinggung, dan sakit fisik, menurut University of the Pacific di California.
"Gegar budaya adalah penyakit akibat hilangnya makna yang ditimbulkan ketika orang-orang dari satu realitas simbolik menemukan diri mereka tenggelam dalam realitas lain," papar Rachel Irwin, yang sekarang seorang peneliti ilmu budaya di Universitas Lund di Swedia, dalam artikelnya pada 2007.
Dengan kata lain, orang-orang bisa menjadi bingung —terkadang sampai tingkat yang signifikan— ketika dikelilingi oleh simbol (logo, nama, tanda, merek) yang berbeda dari yang biasanya mereka temui.
Gejala-gejala yang terkait dengan gegar budaya mirip dengan yang dialami oleh seseorang yang merasa cemas. Menurut Calm Clinic, situs web sumber daya kesehatan mental, ketika seseorang mengalami kecemasan, sinyal akan dikirim ke perut yang "terkait dengan respons melawan atau lari."
Akibatnya, "sinyal itu mengubah cara perut dan usus memproses dan mencerna makanan, menyebabkan mual." Dalam kasus kecemasan yang sangat ekstrem -seperti halnya gegar budaya- mual ini dapat menyebabkan muntah, disorientasi, dan sejumlah reaksi fisik lainnya.
Meski semua orang mengalami kejutan budaya "dalam satu atau lain bentuk ketika mengunjungi tempat baru," beberapa orang merasakannya dengan cara yang lebih jelas dan mendalam ketika disajikan dengan budaya yang "tidak terduga atau berbeda," menurut Deflem.
Berkenaan dengan sindrom Paris secara khusus, "sejumlah faktor sedang bekerja," kata Deflem. "Ini akan menjadi kombinasi harapan dari budaya Jepang dan realitas Paris."
Baca Juga: Monster Gargoyle di Atas Katedral Notre Dame, Mengawasi Kota Paris
Baca Juga: Awas! Rambut Memutih Dalam Semalam Karena Sindrom Marie Antoinette
Baca Juga: Mengapa Bisa Ada Enam Juta Kerangka di Terowongan Bawah Tanah Paris?
Deflem mencatat bahwa, secara umum, budaya Jepang memiliki pandangan yang agak romantis tentang Barat, "terutama Eropa." Ini, menurut Deflem, sebagian besar tergantung pada bagaimana Paris direpresentasikan dalam film-film, seperti "Amélie" (Miramax Films, 2001), "Before Sunset" (Warner Independent Pictures, 2004) dan "An American in Paris" (Loew's Inc. , 1954). Ada pula buku-buku macam "A Night at the Majestic" (Faber and Faber, 2006), "The Ladies' Delight" (1883) dan "A Moveable Feast" (Scribner Classic, 1964) yang cenderung berfokus pada seni, budaya kopi, restoran kuno, dan percakapan yang ramah dan cerdas. Deflem menyarankan bahwa ekspektasi-ekspektasi ini "tidak realistis, terutama di Paris, yang tidak dikenal ramah."
Sebuah studi tahun 2014 yang dilakukan oleh Condé Nast Traveler menyebut Paris sebagai kota paling tidak ramah keempat di dunia. Sebuah studi tahun 2020 oleh majalah CEOWORLD juga memberi Paris gelar kota paling kasar di Eropa. Adapun survei tahun 2021 oleh InterNations, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk membantu orang pindah, menyimpulkan bahwa Paris adalah kota paling tidak ramah ketiga di Eropa untuk ekspatriat.
Dalam budaya populer, "Paris disajikan dengan cara yang tidak mencerminkan realitas kota, terutama tidak aktual, ketika sebagian besar Paris bukan lagi Prancis kuno," kata Deflem.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR