“Ini adalah contoh menarik. Seorang komedian secara spontan berpartisipasi dalam wacana politik kritis melawan orang paling berkuasa di dunia,” kata Marshall. Kejadiannya mungkin tidak persis seperti yang diceritakan. Namun nilai-nilai yang ditonjolkan adalah apa yang orang Romawi pikirkan tentang tujuan lawak yaitu berbicara kebenaran kepada penguasa.
Lawak untuk menghina yang lemah
Namun tawa bukan semata-mata alat bagi yang tertindas. “Untuk setiap tawa di hadapan otokrasi, ada tawa lain oleh yang kuat dengan mengorbankan yang lemah,” tulis sejarawan klasik Mary Beard dalam Laughter in Ancient Rome: On Joking, Tickling and Cracking Up.
Orang Romawi menggunakan lelucon dan tawa untuk mengejek mereka yang cacat fisik dan pria yang bertingkah seperti wanita, misalnya. Dalam demokrasi liberal modern, pelawak bebas mengekspresikan diri mereka secara politis. Risiko dihadapi dalam menyajikan lawakan politik di zaman Romawi kuno. Kondisi ini tidak berubah hingga zaman modern. Tidak sedikit lawakan politik yang kita dengar atau tonton.
Meski begitu, terkadang tertawa lebih baik daripada tidak sama sekali. Ketika hidup memberi Anda seorang autokrat, terkadang Anda harus mengubahnya menjadi lelucon.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR