Nationalgeographic.co.id—Kisah Garudeya terpahat di banyak candi-candi di seluruh Indonesia. Yang paling fenomenal ialah simbolisme Garudeya yang ada di Candi Sukuh dan Cetho (JawaTengah), serta Candi Kidal (Jawa Timur).
Dalam Hindu, Garudeya digambarkan sebagai kendaraan Dewa Wisnu—Sang Pemelihara Alam Semesta. Sosok makhluk mitologi ini kerap digambarkan memiliki kepala, sayap, ekor, bermoncong burung elang; namun dengan tubuh, tangan, dan kaki layaknya manusia.
Raja Airlangga, pada abad ke-11, menggunakan Garudeya sebagai simbol kerjaaannya. Prasasti-prasasti semasanya kerap dijumpai menggunakan simbol makhluk mitologi ini. Biasanya dipahat pada puncak prasasti, atau disebut Garudamukha lancana. Lambang ini berlanjut pada masa raja-raja Jenggala.
Femi Eka Rahmawati menulis dalam bukunya berjudul Meneroka Garuda Pancasila dari Kisah Garudeya: Sebuah Kajian Budaya Visual (2019) tentang simbolisme Garudeya. Menurutnya, di Candi Sukuh simbolisme Garudeya pada "fragmen batu bercampur dengan relief-relief lain yang umumnya berkisah tentang pengruwatan."
Berbeda halnya dengan di Sukuh, di Candi Cetho Garudeya tidak dipahat di batu, melainkan dibangun dari susunan batu yang berdiri di atas tanah.
Secara pengejawantahan cerita, kisah Garudeya berkisah tentang "kepahlawanan sang Garuda dalam membebaskan ibundanya dari perbudakan yang dilakukan ibu tirinya, yang merupakan ibu dari para naga," tambahnya.
Dalam kisahnya, sang Garuda berhasil membawakan ibundanya pertolongan berupa air kehidupan disebut "Tirta Amerta". Air kehidupan itu bisa membebaskan ibundanya dari perbudakan para naga.
Kisah yang tergambar jelas dalam Candi Kidal menjadikan kisah Garudeya sebagai "simbolisme lambang negara Garuda Pancasila yang merupakan sebuah sistem simbol," imbuh Femi.
Erat kaitannya dengan kebanggaan Garudeya dalam simbol kepahlawanan masyarakat kuno di Jawa, Clifford Geertz memasukannya ke dalam kitabnya berjudul Tafsir Kebudayaan yang terbit pada tahun 1992.
Ia mengutarakan tentang makna di balik simbolisme Garuda sebagai simbol sistem lambang negara. "Simbol merupakan salah satu dari unsur pembentukan kebudayaan," ungkap Geertz dalam bukunya.
Seperti halnya simbol Garuda yang diyakini Femi Eka Rahmawati sebagai "kisah Garudeya dari Candi Kidal yang diadopsi panitia Lencana Negara untuk dijadikan simbol (negara Indonesia)."
Simbol Garudeya itu kemudian "disempurnakan dengan tambahan-tambahan simbol lain seperti perisai bergambar bintang, pohon beringin, padi dan kapas, rantai, kepala banteng dan pita yang bertuliskan sesanti bhinneka tunggal ika, yang kemudian dijadikan sebagai lambang negara Indonesia," terus Femi.
Baca Juga: Elang Jawa, Fakta Sains sampai Mitos Penjelmaan dari Garuda
Baca Juga: Kisah Garuda Rinjani, Kaum Difabel dari Mataram yang Berdikari
Baca Juga: Dari Candi Sampai Sains, Mengapa Ilustrasi Botani Itu Penting?
Baca Juga: Ada Bencana yang Mengintai di Sekitar Danau Purba Candi Borobudur
Secara ideologis, Garudeya merupakan penjabaran dari nilai-nilai Pancasila. Sedangkan secara historis, kisahnya menjabarkan tentang perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia.
Para founding father bangsa Indonesia telah membentuk Panitia Lencana Negara yang dibentuk Soekarno, melihat adanya kemiripan antara kisah perjuangan bangsa Indonesia dengan kisah Garudeya.
Bangsa Indonesia memiliki perjuangan yang sama hebatnya dengan Garudeya dalam melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme dan neokolonialisme. Sama seperti Garudeya yang berjuang keras melepaskan ibundanya dari perbudakan para naga.
Sudah dapat dipastikan, bahwa relief-relief Garudeya yang banyak ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, telah mengilhami Soekarno dan Panitia Lencana Negara dalam merumuskan lambang negara, Garuda Pancasila.
Source | : | Meneroka Garuda Pancasila dari Kisah Garudeya (2019) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR