Bajak laut kerap merompak berbagai komoditas untuk dimasukkan ke pasar gelap. Dalam laporan sebelumnya, pasar gelap dan perompakan seperti inilah yang menjadi salah satu faktor VOC bangkrut. Akibatnya, VOC tidak pernah berhasil menumpas perompak komoditas mereka.
Tidak hanya komoditas rempah, bajak laut Bugis yang berkuasa di Laut Jawa dan Laut Flores juga menjaja budak. Linda Mbeki, asisten kurator Museums of South Africa bersama Matthias van Rossum dari Leiden University menjelaskan, bahwa orang-orang Bugis dan Cina kerap menjadi pelaku perdagangan budak dari Kepulauan Maluku.
Baca Juga: Bajak Laut Lanun yang Mengintai Perairan Palembang dan Bangka Belitung
Baca Juga: Apakah Ini Alasan Sebenarnya Mengapa Bajak Laut Memakai Penutup Mata?
Baca Juga: Mencekamnya Tanjung Harapan dan Legenda Kapal Flying Dutchman
Baca Juga: Giolo, Lelaki Bertato asal Maluku yang Kulitnya Dipamerkan di Inggris
Lilie Suratminto, peminat kajian bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Sosial Humaniora di Universitas Buddhi Dharma, Tangerang menjelaskan, bahwa bajak laut Bugis sering bersembunyi di pulau-pulau kecil Laut Jawa dan Laut Flores. "Kapal-kapal mereka sering kucing-kucingan dengan kapal VOC," kata Lilie. "Mereka biasa tinggal di Bawean dan pulau-pulau sekitarnya untuk menghindari jangkauan orang-orang VOC."
Mereka menjelaskannya dalam makalah berjudul Private slave trade in the Dutch Indian Ocean world: a study into the networks and backgrounds of the slavers and the enslaved in South Asia and South Africa tahun 2017 di jurnal Slavery & Abolition. Banyak budak diperdagangkan di Makassar, sebagai pasar budak terbesar selain Batavia seperti yang dialami Untung Surapati.
"Orang-orang Bugis tertentu pernah menyandang reputasi sebagai bajak laut yang ditakuti," tulis Alamsyah dan rekan-rekan. "Reputasi itu masa kini dianggap sebagai suatu kebanggaan yang diekspresikan oleh para sejarawan, novelis maupun penulis kisah petualangan."
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Bukan Perubahan Iklim yang Pengaruhi Gunung Es Terbesar di Antartika, Lalu Apa?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR