Nationalgeographic.co.id - “Sir! Sir! Sir!” Bentak seorang petugas bandara kepada seorang turis Korea yang asyik berswafoto di anak tangga menuruni pesawat. Kami baru saja mendarat di Bandara Leh, Ladakh, India, hampir dua jam perjalanan dari kota Delhi. Jadi, petugas bandara tadi meneriaki turis Korea yang mengambil foto karena memang Kota Leh adalah kota yang menjadi basis militer bagi tentara India. Sehingga bandara kota ini memang juga dioperasikan oleh pihak militer. Fotografi betul-betul terlarang di kawasan bandara, dan beberapa kawasan di kota Leh.
Langkah saya sedikit melambat, saya sempat bingung karena perlahan saya juga mulai kehabisan napas. Perjalanan dari pintu keluar bandara menuju tempat parkir menjadi siksaan berat di tengah hari bulan Agustus ini. Saya baru sadar, lalu segera memeriksa ketinggian melalui jam pintar yang saya kenakan. Benar saja, 3.300 mdpl! Saya mendadak berada di ketinggian setelah meninggalkan kota Delhi yang Hanya beberapa meter saja di atas permukaan laut.
Teringat tulisan yang pernah saya baca oleh Jon Krakauer, Into Thin Air, terbayang bagaimana situasi ini dialami oleh tokoh-tokoh di buku itu dalam ekspedisi pendakian Gunung Everest mereka. Saya bahkan baru berdiri di ketinggian 3.000-an meter!
Arjay, salah satu pemandu lokal yang akan menemani kami dalam perjalanan Moto Himalayan 2022, bercerita tentang salah satu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Leh. Yaitu larangan berkegiatan selama 48 jam sejak pendatang tiba di Kota Leh. Aturan pemerintah ini dibuat merujuk pada kasus penyakit ketinggian yang tak sedikit mengambil nyawa dari para pejalan. Mungkin Arjay segera bercerita itu ketika melihat muka-muka kami sedikit linglung, dan napas kami yang tersengal-sengalnya saat kami berjalan di sampingnya.
Menaiki minibus Suzuki tua dan kabin beralaskan karpet permadani khas orang pegunungan, kami meliuk-liuk dalam gang-gang kecil kota Leh menuju tempat menginap. Sejauh ini Leh masih begitu baik menyambut kami, selamat datang di Himalaya!
Moto Himalaya 2022 adalah sebuah perjalanan epik yang digagas oleh Royal Endfield, rute impian bagi para pengendara kuda besi. Menunggangi Royal Enfield Himalaya, kami akan dibawa menyeberangi sungai, melintasi gunung-gunung, dan berjibaku dengan pasir halus khas gurun-gurun di Himalaya. Tercatat ada sekitar 4 danau atau tso yang akan menjadi persinggahan kami dalam rute tahun ini. Pangong Tso, Tso Moriri, Kyagar Tso, dan Tso kar.
Saya simpan dulu cerita perjalanan kami melintasi Himalaya, saat ini saya ingin bercerita tentang menjawab pertanyaan yang cukup menggelitik benak saya selama perjalanan. Bagaimana dampak pelepasan karbon dari aktivitas bermotor terhadap pegunungan Himalaya. Ide pertanyaan ini terus wira-wiri di kepala saya selama beberapa hari saya tinggal dan melakukan perjalanan menyeberangi pegunungan dengan bermotor.
Di pengujung perjalanan saya baru bisa sedikit mengumpulkan konteks, dan mungkin juga berpikir lebih baik di daerah yang lebih rendah yang lebih kaya oksigen!
Begini menurut pemikiran sempit saya. Beberapa hari mengunjungi dusun-dusun pelosok Himalaya, saya berjumpa dengan manusia-manusia yang hidup dan mencari kehidupan di daerah yang lebih tinggi dari puncak Gunung Gede ini. Mereka kebanyakan hanya memiliki kesempatan mencari pendapatan kurang lebih empat bulan dari 12 bulan.
Musim panas adalah satu-satunya waktu bagi pegunungan untuk memiliki kondisi cukup bersahabat bagi manusia untuk tinggal di kawasan tersebut. Dalam kurun waktu empat bulan itu mereka hidup dari menjual perjalanan bermotor, mengoperasikan bumi perkemahan, dan membuka kedai-kedai teh di pinggir jalan.
Baca Juga: Turing di Himalaya, Melewati Salah Satu Jalan Motor Tertinggi di Dunia
Penulis | : | Didik Kasim |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR