Nationalgeographic.co.id—Genjer-Genjer terdengar mengganggu sampai hari ini. Lagu ini selalu disandingkan sebagai instrumental pengantar keberingasan para tertuduh PKI yang membabi buta.
Tentu, tragedi itu terjadi di malam dini hari paling berdarah sepanjang sejarah bangsa ini. Orang-orang mengenalnya dengan peristiwa Gestapu atau G-30-S yang lebih populer. Genjer-Genjer masuk dalam film propaganda yang diluncurkan pada zaman Orde Baru.
"Genjer-Genjer, sebuah lagu yang dipentaskan dalam kesenian Gandrung di Banyuwangi, pada masa Orde Lama diseret masuk ke dalam pertarungan-pertarungan ideologi," tulis Utan Parlindungan.
Utan menulisnya dalam JSP (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) berjudul "Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu" yang diterbitkan pada tahun 2014.
Di era pemerintahan Soekarno, Genjer-Genjer adalah lagu populer sebagaimana lagu-lagu populer lainnya. Ia mewarisi zeitgeist (jiwa zamannya) seiring dengan berkembangnya kekuasaan Orde Lama.
Lagu ini sohor di masanya, bahkan beberapa kali hiburan yang dilangsungkan di Istana Kepresidenan selalu dihiasi lagu "Genjer-Genjer". "Lagu ini didendangkan di atas panggung nan megah serta didukung seperangkat alat musik modern," imbuhnya.
Jika dilacak kembali ke masa lampau, akar sejarah penciptaan lagu "Genjer-Genjer" dikatakan sama sekali tidak ada hubungannya dengan PKI. Genjer-Genjer hanya sebuah lagu rakyat sedang populer.
Sejatinya, lagu ini tercipta ketika Banyuwangi sedang berada di bawah tirani pendudukan Jepang tahun 1942. Genjer-Genjer difungsikan oleh penciptanya sebagai media kritik atas penjajahan. Penciptaannya difungsikan sebagai media kritik atas penjajahan.
Lagu ini berlatar budaya bangsa Indonesia yang hidup dari genjer-genjer. Berisi kehidupan pelik di masa penjajahan.
Musik yang dimunculkan ini sebenarnya barang konsumsi biasa, tidak memiliki makna yang serius apalagi memberi pengaruh. Sebuah lagu yang lahir tanpa adanya unsur politik dari gubahan penciptanya.
Memasuki fase kemerdekaan di tahun 1945, M. Arief sebagai penciptanya bergabung dengan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan mulai bergaul dengan orang-orang PKI. Dari sinilah, Genjer-Genjer mulai dipopulerkan oleh PKI.
Selanjutnya pada tahun 1963, lagu "Genjer-Genjer" memasuki babak baru ketika diperdengarkan secara intensif melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) dan TVRI. Bahkan, lagu ini berkumandang di setiap kegiatan yang melibatkan anggota dan simpatisan PKI.
Sampai pada meletusnya pemberontakan Gestapu, film propaganda yang digarap era Orde Baru memunculkan Genjer-Genjer sebagai musik latar yang dinyanyikan selama proses mengerikan itu menimpa para Jendral dan Perwira.
Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965
Baca Juga: Nasib Keluarga Dipa Nusantara Aidit Sesudah Malam 30 September
Baca Juga: Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965
Alhasil, berpuluh-puluh tahun sejak peristiwa Gestapu tahun 1965, "lagu Genjer-Genjer sudah tak lagi syahdu terdengar di telinga," terang Utan dalam makalahnya. Ia menjadi barang haram yang berusaha dilupakan sejarah.
Jika berbicara tentang lagu perjuangan, nasib Genjer-Genjer berbeda dengan lagu "Bincarung". Meski bertema lagu di masa perjuangan, mereka sejatinya bertarung secara ideologis.
Genjer-Genjer yang muncul sebagai musik yang terstigma penuh kengerian, berbeda halnya dengan Bincarung yang dibuat oleh kelompok musikal bentukan militer Orde Baru.
Kelompok ini mentas di beberapa kota seperti di Subang, Purwakarta, dan Cirebon. Mereka bersafari mempropaganda arti penting Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan dasar negara melalui syair-syair lagunya.
Selain itu, Bincarung dianggap sebagai upaya untuk menetralisir suasana traumatik setelah terjadinya tragedi Gestapu, khususnya tentang isu kemunculan kembali benih-benih komunisme di Jawa Barat.
Genjer-Genjer menjadi semakin tenggelam, lagu ini diharamkan untuk diputar sepanjang Orde Baru berkuasa. Kejadian ini sempat dirasakan, saat sebuah stasiun radio di Solo dirusak massa akibat memutar lagu tersebut.
Adanya Bincarung sebagai jawaban dari ketakutan rakyat, seolah menjadi tandingan lagu ideologis dari Genjer-Genjer yang sampai hari ini dipandang haram.
Source | : | JSP (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR