Nationalgeographic.co.id—Aktivitas manusia meninggalkan jejak karbon yang sangat besar. Sebagian besar disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi global. Jumlahnya yang sangat besar membuatnya sukar untuk 'diserap', dan tetap tersisa di lingkungan Bumi.
Padahal, dampak dari jejak karbon yang besar bisa mengantarkan kita pada pemanasan global dan perubahan iklim. Kita sebelumnya telah berjanji dengan upaya kolektif lewat Perjanjian Paris tahun 2015 untuk mengurangi dan menghentikan pengeluaran karbon.
Perjanjian Paris mengharapkan negara-negara dunia perlu mengurangi hingga 50 persen emisi karbon di tahun 2030. Tujuannya adalah menjaga kenaikan suhu global berada dalam 1,5 derajat Celsius di atas tingkat sebelum masa industri. Akan tetapi, tampaknya kebanyakan dari negara-negara dunia masih belum siap untuk mewujudkan dekarbonisasi pada tahun 2030.
Bagi Indonesia, fenomena tersebut tidak hanya berdampak pada krisis iklim, tetapi juga keluar dari jalur komitmen nasional demi mencapai target Net Zero 2060. Demi mencapai tujuan itu, selama ini negara-negara di dunia mengampanyekan dan memulai mengganti secara signifikan bahan bakar fosil ke sumber daya energi yang dapat diperbarui dan berkelanjutan.
“Sebagian besar negara masih sangat bergantung pada penggunaan bahan bakar turunan karbon sebagai sumber energi utama mereka, dan dengan berbagai infrastruktur energi terkait bahan bakar fosil yang ada,” kata Associate Professor Chong Meng Nan dari School of Engineering, Monash University Malaysia.
“Ini berarti kita perlu ‘memisahkan’ hubungan antara urbanisasi global dan kegiatan industrialisasi dari emisi karbon – yang menunjukkan bahwa sementara kita melakukan urbanisasi dan industrialisasi lebih cepat, emisi karbon di lingkungan perlu turun secara signifikan," lanjutnya di rilis.
“Ironisnya, konsep decoupling hampir tidak mungkin tercapai sepenuhnya dalam jangka pendek hingga menengah kecuali kita memiliki sistem dan infrastruktur energi yang berkelanjutan dan terbarukan yang siap dipasang yang dapat memenuhi tujuan skala juga." terang Chong.
Menurutnya, bahan bakar hidrogen surya (H2) hijau dan bahan kimia C1-C4 berguna. Saat ini ia bersama tim meneliti dengan mengembangkan sistem nanoteknologi untuk menghasilkan bahan bakar itu.
Chong menerangkan, bahan bakar H2 hijau memainkan peran penting untuk transisi energi kritis. Namun, masih banyak area yang masih memerlukan rancangan dan perbaikan teknik baru, seperti mulai dari produksi, penyimpanan, transportasi, dan penggunaannya.
Keunggulan H2 ketika dibakar adalah menghasilkan energi dan air sebagai produk sampingannya, serta menghilangkan emisi karbon. Jelas, sistem seperti ini punya manfaat bagi lingkungan dan kebutuhan kehidupan di masa mendatang jika digunakan.
Sayangnya, masalah utama dari produksi bahan bakar H2 terletak pada kontra-intuitif senyawa yang dihasilkan ketika mengekstraksinya. Masih ada bahan bakar fosil yang diperlukan, yang mana menghasilkan emisi karbon dalam siklus hidup produk, "dan tidak mendukung dalam arti ekonomi," tuturnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR