Era kolonialisme Belanda belumlah lama berlalu, namun permukiman di tepi sungai itu begitu padat. Padahal era kejayaan Muarajambi itu Sudah mulai memudar dan hilang pengaruhnya pada abad ke-13 masehi. Saat memudar saja pemukiman di tepian Batanghari masih tetap ramai, saya bayangkan bagaimana ramainya dulu kehidupan kompleks percandian Muarajambi.
Kompleks percandian ini berada di Provinsi Jambi, Kabupaten Muara Jambi, yang terletak di tepian sungai Batanghari. Di kawasan ini ditemukan 82 reruntuhan bangunan kuno yang terkubur di hutan dan kebun penduduk. Dari reruntuhan sebanyak itu, sebelas di antaranya telah dipugar.
Situs yang telah dipugar yaitu Candi Kembar Batu, Candi Gumpung, Candi Tinggi 1, Candi Timnggi 2, Candi Astano, Candi Kota Mahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong 1, Candi Gedong 2 dan kolam Telago Rajo.
Luas kawasannya mencapai 3.981 hektare yang meliputi delapan desa dan dua kecamatan, yaitu Kecamatan Marosebo dan Kecamatan Tamanrajo. Areanya memanjang 7,5 kilometer di kedua tepi sungai Batanghari. Bandingkan dengan kompleks Gelora Bung Karno di Senayan yang luasnya hanya 279.08 hektare.
Pertanyaannya, bagaimana cerita pembangunan kompleks peribadatan dan pendidikan Buddha seluas itu di tepian Batanghari? Apakah areanya tumbuh perlahan alamiah karena kebutuhan masyarakatnya atau dibangun sekaligus?
Sepertinya kompleks percandian ini dibangun dalam satu era sekaligus. Temuan ini dibuktikan dari hasil pelitian di lapangan.
"Muarajambi ini nilainya cukup tinggi, bukan sekedar bangunan-bangunan candi seperti yang diperkirakan semula," Agus meneruskan penjelasannya.
Dahulu, para arkeolog menduganya hanya sebagai tempat ibadah. Namun ketika diidentifikasi peninggalan arkeologinya dan naskah-naskah terkait Muarajambi, ternyata kawasan ini adalah pusat pendidikan yang memberi sumbangsih pada peradaban yang ada di Nusantara bahkan peradaban yang ada di dunia.
"Nusantara pada lalu memberi sumbangan pada dunia," tegas Agus.
Hasil penelitian lewat foto LIDAR (foto hasil pemindaian 3-D) menunjukan bahwa kawasan ini sengaja diciptakan, direkayasa di atas kawasan rawa-rawa. Bentang alamnya ditata sedemikian rupa, tanahnya digali, diurug, dan dipadatkan untuk didirkan bangunan. Tanah yang digali menjadi kanal-kanal menuju sungai Batanghari.
Kanal-kanal ini juga menjadi jaringan transportasi air antarhunian rumah panggung yang dibangun di tepian kanal. Kanal ini juga menghubungkan daratan hasil urugan yang dibangun menjadi fasilitas pusat pendidikan Buddha di sana.
Sampai seribu tahun kemudian kanal-kanal itu masih terlihat kasat mata. Sebagian sudah mendangkal bahkan hilang dan menjadi daratan. Tapi tetap terlihat jalurnya. Sebagian lagi sudah dikeruk dan difungsikan kembali menjadi kanal.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR