Oleh Feri Latief
Suatu sore di Desa Danau Lamo, Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi. Anak-anak kecil riang gembira berenang di Sungai Berembang. Sesekali mereka naik ke darat, menuju jembatan besi yang melintang di atas sungai itu lalu terjun bebas ke air.
Byuuuur! Terdengar gelak tawa dan canda mereka.
Cahaya matahari sore menerpa rumah-rumah panggung yang berjejer-jejer di tepi sungai yang menghadap ke barat ke arah matahari. Di sungai itu terasa damai nian ditengah celoteh anak-anak kecil yang berenang. Sesekali melintas sungai perahu kecil didayung warga. Sore nan Indah!
Suasana sore di Sungai Berembang ini, melempar imajinasi saya ke ribuan tahun lalu, tepatnya abad ke-7 sampai dengan abad ke-13 masehi. Saat Kawasan Muarajambi ini merupakan Kerajaan Melayu yang penting dan ramai bagi peradaban Nusantara.
Mungkin saja suasananya pada saat itu sama seperti yang saya lihat sekarang ini, bahkan lebih ramai dan hidup dikarenakan Danau Lamo ini dulunya menjadi bagian dari pusat peribadatan dan pendidikan Buddha di Muarajambi yang terbesar di Nusantara. Murid-muridnya berjumlah ribuan yang datang dari berbagai belahan dunia.
"Sungai Berembang ini salah satu sungai yang merupakan salah satu jaringan sungai-sungai kuno yang ada di kawasan Muarajambi," demikian penjelasan Agus Widiatmoko, kini menjabat sebagai Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya, Jambi.
Sungai Berembang ini yang menghubungkan antara kompleks percandian dengan sungai Batanghari juga jaringan-jaringan saluran air yang menuju pelabuhan Muara Sabak di pesisir timur Sumatera.
"Di Danau Lamo ini, di tepi sungai Berembang ini masyarakat tinggal di tepi sungai. Ini mengingatkan pada berita-berita dari Cina pada abad ketujuh dan delapan yang menyebutkan bahwa masyarakat melayu atau Jambi ini tinggal di tepi sungai. Bahkan juga tinggal di rumah-rumah rakit yang ditambahkan di tepi sungai Batanghari," lanjutnya.
Penasaran dengan penjelasannya saya kemudian mencari tahu lewat literatur, saya temukan banyak foto-foto zaman Hindia Belanda yang menggambarkan pemukiman rapat di tepi sungai Batanghari. Permukiman itu terdiri dari rumah-rumah yang yang didirikan diatas rakit dan mengapung di atas Batanghari.
Era kolonialisme Belanda belumlah lama berlalu, namun permukiman di tepi sungai itu begitu padat. Padahal era kejayaan Muarajambi itu Sudah mulai memudar dan hilang pengaruhnya pada abad ke-13 masehi. Saat memudar saja pemukiman di tepian Batanghari masih tetap ramai, saya bayangkan bagaimana ramainya dulu kehidupan kompleks percandian Muarajambi.
Kompleks percandian ini berada di Provinsi Jambi, Kabupaten Muara Jambi, yang terletak di tepian sungai Batanghari. Di kawasan ini ditemukan 82 reruntuhan bangunan kuno yang terkubur di hutan dan kebun penduduk. Dari reruntuhan sebanyak itu, sebelas di antaranya telah dipugar.
Situs yang telah dipugar yaitu Candi Kembar Batu, Candi Gumpung, Candi Tinggi 1, Candi Timnggi 2, Candi Astano, Candi Kota Mahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong 1, Candi Gedong 2 dan kolam Telago Rajo.
Luas kawasannya mencapai 3.981 hektare yang meliputi delapan desa dan dua kecamatan, yaitu Kecamatan Marosebo dan Kecamatan Tamanrajo. Areanya memanjang 7,5 kilometer di kedua tepi sungai Batanghari. Bandingkan dengan kompleks Gelora Bung Karno di Senayan yang luasnya hanya 279.08 hektare.
Pertanyaannya, bagaimana cerita pembangunan kompleks peribadatan dan pendidikan Buddha seluas itu di tepian Batanghari? Apakah areanya tumbuh perlahan alamiah karena kebutuhan masyarakatnya atau dibangun sekaligus?
Sepertinya kompleks percandian ini dibangun dalam satu era sekaligus. Temuan ini dibuktikan dari hasil pelitian di lapangan.
"Muarajambi ini nilainya cukup tinggi, bukan sekedar bangunan-bangunan candi seperti yang diperkirakan semula," Agus meneruskan penjelasannya.
Dahulu, para arkeolog menduganya hanya sebagai tempat ibadah. Namun ketika diidentifikasi peninggalan arkeologinya dan naskah-naskah terkait Muarajambi, ternyata kawasan ini adalah pusat pendidikan yang memberi sumbangsih pada peradaban yang ada di Nusantara bahkan peradaban yang ada di dunia.
"Nusantara pada lalu memberi sumbangan pada dunia," tegas Agus.
Hasil penelitian lewat foto LIDAR (foto hasil pemindaian 3-D) menunjukan bahwa kawasan ini sengaja diciptakan, direkayasa di atas kawasan rawa-rawa. Bentang alamnya ditata sedemikian rupa, tanahnya digali, diurug, dan dipadatkan untuk didirkan bangunan. Tanah yang digali menjadi kanal-kanal menuju sungai Batanghari.
Kanal-kanal ini juga menjadi jaringan transportasi air antarhunian rumah panggung yang dibangun di tepian kanal. Kanal ini juga menghubungkan daratan hasil urugan yang dibangun menjadi fasilitas pusat pendidikan Buddha di sana.
Sampai seribu tahun kemudian kanal-kanal itu masih terlihat kasat mata. Sebagian sudah mendangkal bahkan hilang dan menjadi daratan. Tapi tetap terlihat jalurnya. Sebagian lagi sudah dikeruk dan difungsikan kembali menjadi kanal.
Waktu terbaik untuk melihat keberadaan kanal ini adalah saat musim hujan dan banjir. Karena kanal-kanal ini kembali tergenang air, bahkan kanal yang sudah mengering pun terisi air. Sehingga bentukan kanal-kanal kuno bisa kita saksikan kembali.
Permukiman penduduk yang terdiri dari rumah-rumah panggung akan terlihat jelas alasannya kenapa dibangun dengan desain seperti itu. Nilai intangibel Muarajambi semakin terasa jika banjir melanda. Kecerdasan lokal dalam mengelola lingkungan buatan terlihat.
Saya bisa membayangkan kondisi masa lalu, bukan sekedar rumah-rumah panggung dan rumah-rumah rakit yang dibangun di tepian Batanghari dan kanal-kanal, tapi juga deermaga dan pelantar-pelantar kayunya. Ini juga menjadi ciri kota-kota melayu yang ada di daerah tepi air baik pesisir mau pun sungai.
Sampai saat ini kita masih bisa melihat konsep rumah panggung dan pelantar-pelantar kayunya (lorong-lorong jalan dari kayu yang didirikan di atas tongga-tonggak) di kota-kota melayu tua, seperti di Pulau Penyengat, Senggarang, Tanjung Pinang, bahkan di Kampung Laut di Kuala Jambi atawa muara Batanghari yang bertepian dengan laut.
Berkembangnya Muarajambi tak lepas dari hubungan perdagangan kerajaan-kerjaan ada di Nusantara dengan India. Pusat pendidikan Buddha di Muarajambi sama seperti tradisi pendidikan yang ada di Nalanda, India.
Biksu pengelana asal Yanjing, Tiongkok, I-Tsing, pernah dua kali singgah di kerajaan Moloyu (Melayu). Ia menyebutkan bahwa pelajaran, tatacara, Buddha Dharma tidak jauh berbeda dengan yang ada di Nalanda, India. Ia menghabiskan waktu sebelas tahun pendidikan di Nalanda sebelum ke datangan kedua kali ke Tanah Melayu.
Pada akhirnya, memudarnya pusat peribadatan dan pendidikan Buddha Muarajambi dipengaruhi oleh peta politik dunia yang berubah. Saat Muarajambi berkembang pada abad ke-8 sampai ke-13, pada saat yang bersamaan Islam di Timur Tengah, Asia, Afrika dan Eropa mencapai puncak kejayaannya. Pada saat itu juga perdagangan jalur-jalur perdagangan mulai dikuasai pedagang-pedagang muslim.
Kapal dagang dan saudagar-saudagar Buddha yang selama ini sebagai sistem pendukung untuk para biksu belayar dan menyebar ajaran mulai digantikan oleh kapal-kapal saudagar muslim. Sistem pendukung yang tidak berjalan dengan baik ini juga mengakibatkan perubahan di masyarakat.
Buddha perlahan-lahan ditinggalkan dan digantikan Islam yang berkembang di Asia Tenggara. Demikian pula dengan Muarajambi yang mulai sepi dan ditinggalkan umat Buddha. Bahkan di akhir abad ke-13 pusat ajaran Buddha Dharma yang ada di Swarna Dwipa, khususnya Muarajambi, mulai berpindah ke hulu sungai Batanghari, yaitu Dharmasraya.
Tak heran peninggalan Buddha banyak ditemukan juga di hulu sungai Batanghari seperti situs Padang Roco dan situs Pulau Sawah. Keberadaannya terus bertahan sampai zaman Raja Adhityawarman.
Dengan peningalan cagar budaya di kawasan seluas hampir 4.000 hektare untuk melestarikan dan menjaganya bukan hanya urusan pemerintah tapi juga masyarakat Indonesia. Untuk itu konsep pembangunan berbasis komunitas yang berkelanjutan harus dikembangkan. Masyarakat bisa aktif ikut membantu menjaga dan merawat Kawasan Cagar Budaya Nasional yang tak ternilai ini.
Masyarakat secara mandiri bahu membahu bersama pemerintah dan swasta ikut aktif terlibat dalam pelestarian cagar budaya. Masyarakat dilibatkan juga dalam pemugaran candi, secara teknis diajarkan bagaimana memugar. Diedukasi untuk bisa menangani artefak-artefak yang tersebar di kawasan itu bila ditemukan.
Selain itu juga masyarakat diedukasi tentang sejarah dan budaya Muarajambi juga rencana pembangunan ke depan agar masyarakat bisa mendapat manfaat dari keberadaan cagar budaya yang mereka miliki. Agar berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Saat ini sedang dipugar empat kompleks bangunan candi di Muarajambi. Candi Kota Mahligai, Menapo Parit Duku, Candi Gedong 1 dan Candi Teluk 1. Juga sungai-sungai dan kanal-kanal tua yang mendangkal dinormalisasi. Sedimentasi dan tumbuhan yg menutupi akan dibersihkan.
Baca Juga: Annabel Gallop: Butuh Langkah Baru untuk Menjaga Surat Piagam Jambi
Baca Juga: Surat dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Istana Sriwijaya
Baca Juga: Siapa Sejatinya Sailendra: Penguasa Jawa atau Penguasa Sriwijaya?
"Dalam pemugaran kita memperhatikan dua hal, melestarikan budaya dan melestarikan alam. Di kawasan ini banyak tumbuh-tumbuhan endemik Sumatra. Pohonnya besar-besar dan vegetasi beragam. Ada juga flora dan fauna yang harus kita lestarikan," jelas Agus Widiatmoko.
Untuk itu dalam pemugaran candi-candi tersebut pohon-pohon besar yang tumbuh di atas candi tidak akan ditumbangkan. Seperti Candi Kota Mahligai, di mana bangunan candinya sudah tertutup oleh tanah, akar dan pepohonan besar yang tua. Pohon-pohon tua itu tetap dipertahankan, menjadi bagian dari sejarah candi itu sendiri.
"Kita memugar dengan struktur-struktur bangunan candi yang bisa disandingkan dengan Warisan alam. Alamnya tidak rusak dan sebagian struktur cagar budaya ini kita nampakan," lanjutnya.
Konsep The New Conservation akan diterapkan di sana. Konservasi tidak hanya struktur bangunan candinya, tapi juga lingkungan ekosistemnya harus secara utuh ikut dilestarikan.
"Apapun alasannya, narasi cerita Muarajambi sebagian juga tersimpan dalam ingatan masyarakatnya. Ini jangan sampai hilang!" tegas Agus.
Candi, lingkungannya, termasuk permukiman tradisional tak boleh dihilangkan. Janganlah dipindahkan bahkan digusur, karena semua memiliki benang merah. Masyarakat yang hidup di sana bagian dari sejarahnya. Sosial budayanya juga ikut dilestarikan.
"Masyarakat sejak Awal bukan bekerja sama dengan pemerintah, tapi bersama-sama kerja untuk melestarikan Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi," tandasnya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR