Nationalgeographic.co.id—Pada 2019, Kertam, seekor badak sumatra jantan terakhir di Malaysia mati. Tak lama, beberapa bulan setelahnya diikuti badak sumatra betina bernama Iman. Seolah harapan untuk konservasi badak sumatra pupus. Namun, harapan baru masih ada lewat sebuah eksperimen terbaru yang dipublikasikan di iScience November ini.
Tim ilmuwan lintas negara yang dipimpin Vera Zywitza dan Sebastian Diecke dari Max-Delbrück-Center for Molecular Medicine in the Helmholtz Association, Jerman, memiliki tujuan ambisius untuk mengembalikan gajah sumatra di Malaysia. Mereka ingin mengubah sel kulit yang diambil dari badak sumatra yang sudah mati menjadi sel punca.
Dengan demikian, mereka bisa memperoleh sel telur dan sperma untuk reproduksi buatan, atau pembuahan di laboratorium. Para ilmuwan akan membiakkan embrio di cawan petri yang akan menjadi keturunan Kertam, dan individu yang sudah mati, atau tidak subur.
Eksperimen ini membuahkan keberhasilan awal, lewat laporan mereka berjudul "Induced pluripotent stem cells and cerebral organoids from the critically endangered Sumatran rhinoceros". Para ilmuwan melaporkan, telah menghasilkan sel induk berpotensi majemuk yang diinduksi (iPS) dari sampel kulit Kertam.
Sel punca yang diperoleh dari kulit Kertam juga memiliki fungsi lain. Zywitza mengatakan "sel iPS dari hewan eksotis menyediakan alat unik untuk mendapatkan wawasan tentang evolusi perkembangan organ". Kemampuan ini dibuktikan dalam pengamatan mereka.
Sel-sel ini punya keunggulan dalam membelah diri tanpa batas dan tidak pernah mati, serta mampu berubah menjadi semua jenis sel dalam tubuh. Dalam penelitian mereka baru-bari ini, sel-sel itu akan menumbuhkan "otak mini" dari sel Kertam.
“Sejauh pengetahuan kami, otak mini seperti ini hanya diperoleh dari tikus, manusia, dan primata non-manusia sejauh ini,” kata Silke Frahm-Barske, anggota penelitian yang membantu mengembangkan organoid otak, dalam sebuah pernyataan.
“Jadi kami sangat senang melihat bahwa sel punca yang kami hasilkan dari badak sumatra membentuk organoid yang sangat mirip dengan manusia.” Namun, dia menambahkan bahwa tim harus memperlakukan sel iPS manusia dan badak sedikit berbeda untuk menghasilkan organoid otak.
Zywitza mengatakan, proyek ini sebenarnya mengadaptasi dari usaha mempertahankan badak putih utara di Afrika. Populasi mereka saat ini tersisa dua betina, dan berada di suaka margasatwa di Kenya.
Dirinya bersama tim pun terkejut, ketika penerapan metode untuk mempertahankan badak putih utara lewat sel kulit, ternyata berhasil dan bekerja dengan baik dengan sel badak sumatra. Lewat pengamatan mikroskop, sel induk kedua spesies badak hampir tidak dapat dibedakan dari sel iPS manusia.
Baca Juga: Cula Badak Sering Dipotong untuk Konservasi, Apakah Berbahaya?
Baca Juga: Dunia Hewan: Teknologi Canggih Membantu Pelestarian Badak Putih Utara
Baca Juga: Kawin Sedarah, DNA Kuno Ungkap Sejarah Evolusi Keluarga Badak
Baca Juga: Wisata Taman Nasional Harusnya Fokus pada Konservasi dan Inklusif
"Berbeda dengan sel iPS badak putih utara, iPSC Kertam tidak dapat dibudidayakan tanpa sel pengumpan, yang melepaskan faktor pertumbuhan yang membantu menjaga sel induk dalam keadaan pluripoten," jelas Zywitza.
Penemuan ini jelas menjadi upaya mengembalikan populasi badak sumatra di Malaysia. Mereka rencananya menggunakan sel iPS Kertam itu untuk menumbuhkan sperma yang cocok untuk inseminasi buatan. Langkah ini akan lebih sulit bagi para peneliti, sebab "Untuk mendapatkan sel sperma, pertama-tama kita perlu menggunakan sel iPS untuk menumbuhkan sel germinal primordial—prekursor telur dan sperma,” terang Zywitza.
“Meskipun pekerjaan kami berusaha untuk membuat hal yang tampaknya mustahil—yaitu, untuk memastikan kelangsungan hidup hewan yang mungkin akan hilang dari planet kita—itu harus tetap menjadi pengecualian dan tidak menjadi aturan,” tegas Zywitza.
"Terlepas dari semua desas-desus tentang apa yang kami lakukan di laboratorium, ini dapat memberikan kontribusi kecil untuk menyelamatkan badak ini dari kepunahan. Perlindungan dan konservasi beberapa habitat hewan yang tersisa setidaknya sama pentingnya."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR