Nationalgeographic.co.id—Sebuah laporan yang menyedihkan menunjukkan bahwa negara-negara anggota G20 masih menghabiskan banyak uang untuk penggunaan bahan bakar fosil. Negara-negara "kaya" ini masih menyediakan lebih dari setengah triliun dolar Amerika Serikat setiap tahunnya untuk proyek bahan bakar fosil, meskipun mereka telah menyatakan komitmen untuk memangkas emisi gas rumah kaca sejalan dengan kesepakatan iklim Paris.
Meski dukungan negara-negara itu untuk minyak, gas, dan batu bara sedikit menurun sejak kesepakatan penting itu dibuat pada tahun 2015, studi analisis baru oleh tiga lembaga pemikir iklim menemukan bahwa rencana stimulus pasca-pandemi banyak negara bakal menghabiskan miliaran dolar AS lagi untuk bahan bakar tak ramah lingkungan tersebut.
Dalam penilaian kinerja negara-negara G20 dalam menghapus subsidi bahan bakar fosil secara bertahap, analisis baru itu menemukan bahwa setidaknya 170 miliar dolar AS uang publik telah dijanjikan untuk sektor padat bahan bakar fosil sejak awal pandemi.
"Pemerintah-pemerintah G20 belum berada di jalur yang tepat untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris mereka dalam mengakhiri dukungan untuk bahan bakar fosil sebelum COVID-19," kata Anna Geddes dari International Institute for Sustainable Development, yang turut menulis laporan tersebut.
"Sekarang, sayangnya mereka bergerak ke arah yang berlawanan," ucap Geddes, seperti dikutip dari Science Alert.
International Energy Agency (IEA) sebelumnya mengatakan bahwa pandemi sebenarnya memberikan kesempatan sekali dalam satu generasi bagi pemerintah-pemerintah untuk memberlakukan "langkah perubahan dalam investasi energi bersih". Namun, negara-negara itu tampaknya tidak memperhatikan nasihat ini.
Penguncian dan larangan perjalanan telah membuat polusi karbon global anjlok tahun ini dibandingkan dengan 2019. Studi ini menemukan bahwa negara-negara itu telah memberikan 584 miliar dolar AS untuk proyek bahan bakar fosil setiap tahunnya antara tahun 2017-2019.
Dalam laporan studi tersebut, diungkapkan bahwa dalam rentang tahun 2017-2019 Indonesia adalah negara ketujuh terbanyak yang mengeluarkan uang untuk proyek bahan bakar fosil. Peringkat pertama hingga kelima secara berturut-turut adalah Tiongkok, Rusia, Arab Saudi, India, Argentina, dan Meksiko.
Baca Juga: Digunakan untuk KTT G20, Bagaimana Garam Bisa 'Cegah' Hujan di Bali?
Baca Juga: Studi: 1 dari 5 Kematian di Dunia Disebabkan Polusi Bahan Bakar Fosil
Baca Juga: Komitmen Karbon Mengecewakan, Sekjen PBB: Dunia Menuju Kehancuran
Yang menarik, ada perbedaan yang signifikan antara pemerintah-pemerintah G20 dalam hal pelaporan mereka soal dukungan dana untuk bahan bakar fosil. "Kami menemukan bahwa hanya enam negara G20 yang telah melaporkan secara resmi kepada publik bahwa mereka memberikan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien (Kanada, Jerman, Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan Indonesia)," tulis para peneliti dalam laporan studi tersebut.
Dalam laporan tersebut Indonesia disebut telah berkomitmen dalam jumlah besar untuk mencegah kebangkrutan sejumlah BUMN penghasil dan konsumen energi bahan bakar fosil tersebut. Sejumlah BUMN yang dimaksud adalah termasuk PLN (utilitas listrik, 3,1 miliar dolar AS), Pertamina (minyak dan gas, 2,6 miliar dolar), dan Garuda Indonesia (maskapai penerbangan, 582 juta dolar AS).
Dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, bahan bakar fosil menjadi salah satu isu pokok yang dibicarakan. Salah satu kesepakatan yang dibuat dalam KTT G20 itu adalah terkait dengan bahan bakar fosil atau bahan bakar minyak (BBM). Negara-negara G20 sepakat untuk memangkas subsidi BBM yang dianggap mendorong konsumsi BBM jadi lebih boros.
"Kami akan meningkatkan upaya kami untuk mengimplementasikan komitmen yang dibuat pada tahun 2009 di Pittsburgh untuk pemangkasan secara bertahap dan merasionalisasi, dalam jangka menengah, subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, yang mendorong konsumsi lebih boros," bunyi kutipan poin nomor 12 dalam kesepakatan tersebut, seperti dikutip dari Detikcom.
Selain itu dibicarakan pula isu transisi energi. Dalam dokumen tersebut, negara-negara G20 sepakat untuk mempercepat transisi energi dengan meningkatkan pembangunan pembangkit listrik non emisi atau rendah karbon.
"Kami akan dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik nol dan rendah emisi, termasuk energi terbarukan sumber daya, dan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi energi, teknologi, dengan mempertimbangkan keadaan nasional," tertulis dalam poin nomor 11.
Atas pembahasan isu transisi energi ini, Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), mewanti-wanti agar pembukaan tambang-tambang mineral sebagai sumber daya baterai listrik tidak merusak lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar.
"Elektrifikasi sistem transportasi beserta ketergantungan baru pada mineral bahan baku baterai telah memicu kolonisasi wilayah-wilayah ekstraksi di Indonesia dan di negara-negara Selatan lain," kata Melky dalam tulisannya di Tempo.co.
Jadi, jangan sampai pertambangan minyak dan gas serta batubara hanya digantikan oleh pertambangan mineral lain seperti nikel. Kalau hanya seperti itu, menurut Melky, "ekstraksi hanya berpindah lokasi, namun daya rusaknya sama."
Source | : | Science Alert,tempo.co,Detikcom |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR