Nationalgeographic.co.id—Saat mempelajari kehidupan masyarakat kuno, tidak jarang kita mengalami gegar budaya. Misalnya kehidupan di zaman Romawi kuno. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh bangsa Romawi kuno masih terasa hingga kini. Misalnya budaya, agama, dan hukumnya. Meski demikian, ada kebiasaan dan aturan bangsa Romawi kuno yang dianggap absurd oleh orang modern. Seperti pelacur Romawi kuno yang harus mewarnai rambutnya menjadi pirang agar tidak tertukar dengan wanita bangsawan. Selain itu, hukum di masa awal juga memperbolehkan seorang ayah untuk membunuh anaknya.
Agar tidak tertukar, pelacur harus mewarnai rambutnya menjadi pirang
Aturan ini sekali lagi berkaitan dengan obsesi Romawi terhadap kelas dan status sosial. Sebagian besar wanita Romawi asli berambut gelap. Rambut pirang dikaitkan dengan orang Galia dan Barbar.
Prostitusi dalam masyarakat Romawi kuno adalah 100% legal. Bahkan tidak ada dampak sosial bagi pria yang menggunakan jasa pelacur. Meski demikian, salah satu profesi tertua di dunia ini dipandang rendah.
“Undang-undang mengatur pelacur harus mewarnai rambut mereka menjadi pirang,” tulis Robbie Mitchell di laman Ancient Origins. Tujuannya untuk memastikan bahwa tidak ada wanita Romawi yang baik dan jujur yang disalahartikan sebagai pelacur. Dengan cara ini, mereka akan tampak lebih seperti orang Galia yang barbar, daripada wanita Romawi yang agung.
Aturan ini berhasil, untuk sementara waktu. Pasalnya, wanita bangsawan Romawi iri dengan tampilan pirang nan seksi. Mereka mulai mengecat rambut mereka atau menuntut agar para pelacur malang itu mencukur rambutnya agar wig pirang bisa dibuat.
Rakyat jelata dilarang menggunakan warna ungu
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Romawi terobsesi dengan kelas. Salah satu cara untuk memenuhi obsesi itu adalah dengan pengaturan warna. Di masa itu, rakyat jelata dilarang mengenakan warna ungu.
Di zaman Romawi kuno, warna ungu dikaitkan dengan kemuliaan, kekuasaan, dan kebangsawanan. Dengan demikian, toga ungu hanya diperuntukkan bagi kaisar dan orang Romawi berpangkat tinggi lainnya.
Mengapa ungu memiliki reputasi ini? Karena sangat mahal untuk menghasilkan pewarna ungu. Semua pewarna ungu bersumber dari Fenisia. Untuk membuat pewarna yang cukup untuk sebuah toga, sepuluh ribu moluska harus dihancurkan. “Konon, pewarna ungu bernilai kira-kira sama dengan emas,” Mitchell menambahkan.
Orang Romawi senang bisa membedakan kelas seseorang hanya dengan melihat penampilan seseorang. Larangan toga ungu adalah contoh utama hukum sumptuary Romawi. Ini adalah undang-undang yang melarang orang Romawi kelas bawah memamerkan kekayaan apa pun yang mungkin mereka miliki.
Dalam sistem kelas Romawi, Anda tetap di tempat Anda dan hanya kelas atas yang bisa memamerkan kekayaannya.
Secara hukum, seorang ayah diperbolehkan untuk membunuh keluarganya
Romawi kuno merupakan masyarakat patriarki. Ada beberapa tindakan yang dianggap sangat ekstrem di masa-masa awal. Misalnya, anggota keluarga adalah milik kepala keluarga atau ayah. Sehingga ia boleh melakukan apa saja.
Seorang ayah bebas memilih cara bagaimana dia menghukum anak-anaknya. Jika dia merasa anak-anaknya pantas mati, maka dia bisa membunuh anak-anaknya tanpa akibat hukum.
Bahkan setelah meninggalkan rumah, anak-anak tidak terbebas ketakutan. Meski sudah menikah dan meninggalkan rumah, seorang anak perempuan masih bisa dibunuh oleh ayahnya. Anak laki-laki juga tidak pernah aman. Mereka baru benar-benar mandiri setelah sang ayah meninggal.
Akhirnya, aturan ini dilonggarkan. Pada abad pertama Sebelum Masehi, sebagian besar hak seseorang untuk membunuh keluarganya telah dihapuskan.
Tetapi, jika seorang anak laki-laki dihukum karena suatu kejahatan sehingga mencoreng nama keluarganya, seorang ayah masih diperbolehkan untuk membunuhnya.
Seorang ayah bisa menjual anaknya untuk dijadikan budak
Budak merupakan aset penting bagi bangsa Romawi. Seorang budak Romawi tidak memiliki hak dan sebagian besar dari mereka menjalani kehidupan yang menyedihkan.
“Warga negara Romawi bebas dari kejamnya perbudakan, kecuali jika mereka melanggar hukum,” ujar Mitchell.
Namun ada satu pengecualian yang cukup aneh di masa itu. Seorang ayah bisa menjual (atau menyewakan) putra mereka sebagai budak, tetapi itu hanya sementara.
Kepala keluarga dan calon pembeli akan mencapai kesepakatan mengenai harga dan durasi perbudakan anak. Ketika waktunya habis, pembeli diharapkan untuk membawa putranya kembali dalam kondisi yang kira-kira sama dengan saat dia menerimanya.
Meski demikian, penjualan anak ini tidak bisa dilakukan berkali-kali. Jika seseorang menjual putranya untuk ketiga kalinya, maka ia dianggap sebagai ayah yang tidak layak.
Setiap anak laki-laki yang dijual oleh ayahnya tiga kali secara hukum dibebaskan dari orang tuanya yang rakus. Tentu saja setelah ia menyelesaikan tugasnya sebagai budak untuk ketiga kalinya.
Aturan yang membingungkan tentang perzinahan
Tidak mengherankan, orang Romawi memiliki aturan yang saling bertentangan. Misalnya soal perzinahan. Penerapan aturan tergantung pada siapa yang ketahuan selingkuh, istri atau suami.
Juga tidak mengherankan, para suami cukup bebas untuk melakukan apa yang mereka sukai. Suami bisa memiliki gundik dan tidur dengan pelacur. Orang akan tutup mata soal itu. Perselingkuhan dengan pelacur akan jadi masalah jika suami dianggap terlalu memanjakan si pelacur.
Bagi sang istri, perselingkuhan adalah cerita yang sangat berbeda. Ketika seorang suami menemukan istrinya dalam pergolakan nafsu dengan pria lain, dia wajib mengunci kedua kekasihnya di dalam kamar. Suami memiliki waktu 20 jam untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang untuk bertindak sebagai saksi.
Begitu saksi diperoleh, dia memiliki tiga hari lagi untuk mengumpulkan buktinya. Dia perlu tahu berapa lama perselingkuhan itu berlangsung, di mana itu terjadi, dan siapa kekasihnya. Semua detail yang diperlukan harus dikumpulkan.
Begitu dia mendapatkan fakta-faktanya, sang suami harus menceraikan istrinya. Orang-orang Romawi tidak menyukai pengampunan. Apabila sang suami gagal menceraikan istrinya, dia menghadapi tuduhan menjadi mucikari pasangannya.
Suami yang ingin balas dendam dapat membunuh kekasih istrinya. Dengan catatan, jika selingkuhannya itu adalah seorang budak atau pelacur yang tidak memiliki hak apapun. Jika kekasihnya adalah warga negara, segalanya menjadi lebih rumit.
Sang suami kemudian harus pergi ke ayah mertuanya dan melibatkannya. Para ayah di Romawi memiliki hak untuk membunuh kekasih putri mereka. Jika sang ayah menginginkannya, kekasihnya bisa mati, tidak peduli status sosialnya.
Ada juga kemungkinan sang ayah akan memutuskan untuk membunuh putrinya saat dia melakukannya, menyelamatkan sang suami dari masalah perceraian.
Beragam cara untuk menghukum orang Romawi kuno
Dibunuh oleh seorang ayah bukanlah hukuman terburuk di zaman Romawi kuno. Bangsa Romawi memiliki banyak cara untuk membunuh penjahat dan tahanan. Penjahat bisa dipenggal, dilempar dari ketinggian, atau dipaksa ikut serta dalam pertarungan gladiator. Bahkan tidak jarang yang harus berhadapan dengan binatang buas.
Selain itu, seorang tahanan juga bisa dimasukkan ke dalam karung kulit bersama ular, anjing, monyet, dan ayam. Karung diikat kuat-kuat dan dilemparkan ke sungai atau danau. Di dalam karung, orang itu akan meronta-ronta karena disiksa oleh binatang yang ada di dalam karung itu. Akhirnya, tahanan itu akan mati mengenaskan.
Ketika melihat aturan dan hukumnya, bangsa Romawi kuno tampak sangat brutal dalam banyak hal. Hak-hak sipil, kecuali jika seseorang dilahirkan dalam keluarga yang tepat, hampir tidak ada dan budak hidup di neraka.
Namun hal yang sama mungkin terjadi ketika orang Romawi hidup di zaman modern. Mereka mungkin akan menemukan beberapa kebiasaan dan aturan di masa kini yang tampak absurd baginya.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR