Plastik biasanya didaur ulang dengan melelehkannya dan mengubahnya menjadi bahan berkualitas rendah dalam proses yang disebut daur ulang mekanis. Tapi ketika panas diterapkan pada PVC, salah satu komponen utamanya, yang disebut pemlastis, mudah larut dari material, kata McNeil.
Mereka kemudian dapat menyelinap ke plastik lain di aliran daur ulang. Selain itu, asam klorida mudah lepas dari PVC dengan panas. Ini dapat merusak peralatan daur ulang dan menyebabkan luka bakar kimiawi pada kulit dan mata, tidak ideal untuk pekerja di pabrik daur ulang.
Baca Juga: Analisis pada Sampah Ungkap Penduduk Pompeii pun Melakukan Daur Ulang
Baca Juga: Dari Busana hingga Makanan, Kota Kecil Ini Mendaur Ulang Limbahnya!
Baca Juga: Mikroba dari Perut Sapi Bisa Bantu Daur Ulang Sampah Plastik
Baca Juga: Pengelolaan Sampah di Indonesia Masih Buruk, Perlu Kolaborasi dan Revolusi
Terlebih lagi, phthalates—pemlastis umum—adalah pengganggu endokrin yang sangat beracun, yang berarti dapat mengganggu hormon tiroid, hormon pertumbuhan, dan hormon yang terlibat dalam reproduksi pada mamalia, termasuk manusia.
Nah, untuk menemukan cara mendaur ulang PVC yang tidak membutuhkan panas, Fagnani mulai mendalami elektrokimia. Sepanjang jalan, dia dan tim menemukan bahwa pemlastis yang menghadirkan salah satu kesulitan daur ulang utama dapat digunakan dalam metode untuk memecah PVC.
Faktanya, pemlastis meningkatkan efisiensi metode, dan metode elektrokimia menyelesaikan masalah dengan asam klorida.
"Apa yang kami temukan adalah masih melepaskan asam klorida, tetapi pada tingkat yang jauh lebih lambat dan lebih terkontrol," kata Fagnani.
Fokus lab McNeil adalah mengembangkan cara untuk mendaur ulang berbagai jenis plastik secara kimiawi. Memecah plastik menjadi bagian-bagian penyusunnya dapat menghasilkan bahan yang tidak terdegradasi yang dapat dimasukkan kembali oleh industri ke dalam produksi.
"Ini adalah kegagalan umat manusia untuk menciptakan bahan-bahan luar biasa yang telah meningkatkan kehidupan kita dalam banyak hal, tetapi pada saat yang sama menjadi sangat picik sehingga kita tidak memikirkan apa yang harus dilakukan dengan limbah tersebut," kata McNeil.
Source | : | University of Michigan News,Nature Chemistry |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR