Nationalgeographic.co.id - Di tengah polusinya yang pekat, Jakarta memiliki kawasan hijau untuk konservasi. Kawasan itu adalah Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) di Penjaringan, Jakarta Utara, yang tidak jauh dari Pantai Indah Kapuk dan Pelabuhan Muara Angke.
Suaka Margasatwa Muara Angke menjadi rumah bagi berbagai jenis burung seperti cangak (Ardeola sp.), kuntul (Egretta sp.), mandar batu (Gallinuyla chloropus), bubut jawa (Centropus nigrorufus), dan masih banyak lagi. Sebagian besar adalah jenis burung dengan status konservasi terancam, menurut IUCN.
Pada musim-musim tertentu, tempat ini menjadi tempat singgahnya berbagai jenis burung migran dari benua Eropa, Asia, dan Afrika. Salah satunya yang pernah dipantau National Geographic Indonesia adalah trinil pantai (Actitis hypoleucos).
Selain burung, hewan lain yang dilindungi seperti kura-kura, biawak, ular welang, ular daun, monyet ekor panjang bisa ditemukan di sini. Sehingga, penetapannya adalah untuk konservasi satwa yang dilindungi di Jakarta. Pada bagian perairan, karena berada di pesisir utara Jakarta, Suaka Margasatwa Muara Angke memiliki berbagai jenis ikan pula seperti ikan sapu-sapu dan gabus.
Di kawasan pesisir utara Jakarta, Suaka Margasatwa Muara Angke menjadi tempat menyerap karbon dengan keragaman flora. Walau didominasi semak belukar, tetapi kawasan ini memiliki beberapa tanaman khas seperti ketapang (Terminalia catappa), akasia (Acacia auriculiformis), kelapa, dan lain-lain.
Kondisi pembangunan Jakarta yang pesat menjadi alasan mengapa Suaka Margasatwa Muara Angke dibangun. Saat itu Jakarta masih bernama Batavia. Gubernur Hindia Belanda Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menetapkan kawasan ini sebagai cagar alam, melalui Surat Keputusan nomor 24 tahun 1939 dengan luas 15,40 hektare.
Karena kedekatannya dengan pemukiman padat penduduk Jakarta, Suaka Margasatwa Muara Angke punya masalah. "Pertama adalah sampah yang terbawa arus dan tersangkut di area mangrove. Kedua, gangguan hidrologi," terang Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta Abdul Kodir, 15 Desember 2022.
"Ketiga, menurunnya kualitas keanekaragaman hayati karena banyak monyet ekor panjang yang mendiami kawasan ini mengonsumsi sampah plastik, sehingga di dalam tubuhnya ditemukan logam berat. Dan kelima, adanya konflik satwa dengan manusia."
Baca Juga: Cangak Abu Berjemur di Kawasan Hutan Lindung Angke-Kapuk Jakarta.
Baca Juga: Tidak Cukup Menanam, Perlu Keragaman Hayati Supaya Mangrove Lestari
Baca Juga: Singkap Hutan Bakau Purba Berusia 100.000 Tahun di Semenanjung Yucatan
Baca Juga: Memalukan, Jumlah Sampah Plastik dari Sungai-Sungai Jakarta Terungkap
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR