Nationalgeographic.co.id—Geger Sapehi atau Perang Sapehi, barangkali menjadi nama tragedi yang paling tepat untuk menggambarkan, betapa temaramnya Mataram setelah masuknya intervensi Inggris ke Yogyakarta.
Setelah pemerintah kolonial Belanda takluk dan meninggalkan wilayah Hindia Belanda,Inggris melancarkan Penyerbuan ke Jawa sekira 1811. Kala itu, Hamengkubuwana II kembali menduduki takhta Kesultanan Yogyakarta.
Sementara itu, Hamengkubuwana III setelah pertikaiannya dengan Hamengkubuwana II, ia kembali menjadi putra mahkota setelah membuat perdamaian dengan ayahnya pada tanggal 5 November 1811.
Peter Carey menggambarkan kisah-kisah ini dalam bukunya berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855 yang diterbitkan pada tahun 2014. Secara rahasia, kedua Mataram (Keraton Surakarta dan Yogyakarta) berkoalisi.
Mereka membangun strategi penyerangan terhadap Inggris secara rahasia. John Crawfurd, Residen Inggris di Yogyakarta segera menghubungi Pangeran Diponegoro sebagai perantara untuk menyampaikan maksud dari kedatangan Inggris ke Yogyakarta.
Inggris menginginkan sang putra mahkota, Hamengkubuwana III untuk naik tahta secepatnya. Hal ini jelas diketahui maksud dari Inggris yang menilai sosok Hamengkubuwana II yang terkesan kaku dan tak bisa diajak kompromi.
"Di lain pihak, Hamengkubuwana II bermaksud untuk membujuk Inggris agar bersedia jika kedudukan putra mahkota kepada Mangkudinigrat," imbuh Carey dalam bukunya.
Raffles tiba di Yogyakarta pada tanggal 17 Juni 1812. Ia mengultimatum Sultan Hamengkubuwana II untuk menyerahkan kedudukan kepada putra mahkota, namun permintaan itu ditolak oleh sultan.
Sekitar 1.000 pasukan Inggris dikerahkan, di mana terdapat pasukan Sepoy (kemudian dikenal Sapehi) turut dalam barisannya. Pada tanggal 19 Juni 1812, mereka mulai membombardir keraton sebagai peringatan, tetapi sultan mengabaikannya.
Akibat dari hal tersebut, Inggris secara serius mengumumkan perang atas kraton Yogyakarta. Pertempuran Sapehi tak terhindarkan, sampai akhirnya Inggris menang dan berhasil menduduki Keraton Yogyakarta.
Berdasarkan Babad Bedhah ing Yogyakarta, sebuah babad yang ditulis pada pertengahan Juni 1812 hingga pertengahan Mei 1816, penjarahan keraton berlangsung selama lebih dari empat hari.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR