Nationalgeographic.co.id - Pagi menjelang siang itu saya baru tiba di Klenteng Pan Kho di Bogor. Suasananya ramai karena pengurus, umat, dan pengunjung lainnya, sibuk melakukan rupang, kegiatan membersihkan patung jelang hari raya Imlek.
Dalam melakukan rupang, patung dimandikan dengan air kembang. Selain itu, altar yang menjadi tempat patung-patung dan beberapa bagian penting dari klenteng juga turut dibersihkan.
Setibanya, saya langsung bertemu dengan Aristi Prajwalita Madjid yang mengajak saya ke klenteng ini beberapa hari sebelumnya. Dia bersama rekan-rekannya yang juga berkunjung adalah fotografer, untuk mengabadikan kegiatan di klenteng.
Klenteng Pan Kho Bio sebenarnya punya jemaat yang biasanya mendokumentasikan kegiatan. Namun, dokumentasi tersebut kurang rapi untuk diabadikan dalam arsip. "Terus, mereka pikir, mungkin perlu ada dokumentasi yang harusnya bisa diarsipkan deh. Jadi kita bergerak ke sini [ambil] foto-foto."
Kegiatan Aristi bersama rekan-rekannya tidak hanya pada kegiatan rupang. Mereka akan terus membantu kegiatan ibadah dan tradisi Tionghoa sampai Cap Go Meh mendatang. Yang menarik, tuturnya, Cap Go Meh sudah menjadi festival daerah Bogor yang harus dikunjungi. Akan ada banyak pertunjukan barongsai, di satu sisi umat Konghucu berdoa pada hari itu.
Menjelang azan zuhur, pengurus Klenteng Pan Kho Bio Candra Kusuma menginstruksikan kami untuk berhenti membersihkan patung sejenak, untuk segera mengambil makan siang. Makanan siangnya seperti lebaran, ada ketupat, telur, dan kentang yang disajikan prasmanan di tengah klenteng kecil itu.
"Ini semua makanannya bisa untuk semua orang," tutur Candra pada saya sambil makan. Pengurus klenteng tidak mengambil sajian daging karena yang turut membantu tidak hanya umat Konghucu, tetapi karena pemeluk agama Buddha dan Islam juga turut serta, maka makanan harus bisa diterima semuanya.
Mereka yang secara langsung ikut bersih-bersih selain umat Konghucu adalah masyarakat sekitar klenteng, Kampung Pulo Geulis. Seperti namanya, kampung ini adalah 'pulau' yang sebenarnya terbentuk sebagai delta di Sungai Ciliwung. Kampungnya di selatan Kebun Raya Bogor, terletak di kelurahan Baranangsiang.
Kampung Pulo Geulis ini padat, hanya bisa kendaraan roda dua yang lalu-lalang. Gangnya membujur dari ujung utara 'pulau' sampai selatan. Mayoritas masyarakat di sini adalah orang Sunda dan Tionghoa yang hidup bersama selama sekian ratus tahun.
Tidak jarang, ketika saya keliling kampung ini, beberapa warga nikah campur. Ada pula yang menikah beda agama, dan berpegang teguh kepada keyakinan masing-masing. Klenteng ini adalah simbol persatuan mereka, sehingga bersih-bersih patung di luar etnis Tionghoa juga terlibat.
Pasalnya, Klenteng Pan Kho Bio tidak hanya menjadi tempat ritual umat Konghucu. Di dalamnya ada banyak tempat ziarah peninggalan tokoh-tokoh penyebar agama Islam, bahkan petilasan yang berhubungan dengan Sri Baduga Maharaja ada di sini, terang Candra.
Di ruang utamanya memang ada banyak patung, dan yang dewa utama yang didoakan adalah Phan Ko—dewa pencipta alam semesta. Sementara, tidak jauh dari altar terdapat batu besar yang merupakan petilasan Mbah Raden Mangunjaya. Lalu, di belakang altar terdapat ruang musala yang di dalamnya ada petilasan Mbah Sake.
Candra menyebutkan, klenteng ini terbuka untuk siapa saja yang mau beribadah. Umat muslim biasanya datang untuk berziarah ke petilasan-petilasan tersebut, termasuk ber-tawwasul. Ruang musala sendiri tersedia peralatan salat. Selain perayaan Imlek, klenteng ini juga ramai saat maulid Nabi Muhammad.
Baca Juga: Tradisi Tahun Baru Tionghoa yang Tak Usai di Hari Imlek Saja
Baca Juga: Tahun Baru Imlek, Ajang Reuni Keluarga dan Migrasi Manusia Terbesar
Baca Juga: Pertanyaan Pribadi di Kumpul Keluarga, Bagaimana Cara Menghadapinya?
Baca Juga: Akulturasi Indonesia-Tionghoa: Jejak Budaya Antarbangsa yang Lestari
Selain itu, pada masa Orde Baru, ketika semua hal yang berhubungan dengan tradisi Tionghoa dipersulit, klenteng ini sementara 'menjadi wihara'. Statusnya sebagai klenteng dikembalikan ketika diskriminasi rasial itu dihapuskan. Oleh karena itu, masyarakat dari kalangan etnis dan agama mana pun, merasa memiliki klenteng ini.
"Apa makna dari bersih-bersih patung menjelang Imlek, Pak?" tanya saya. Candra menjawab, "Bersih-bersih patung memang sudah menjadi keharusan dan merupakan tradisi. Namun dalam hal ini, kita ada satu keyakinan bahwa selain membersihkan patung itu, membersihkan diri kita dari hal-hal yang membuat kita mengurangi perbuatan kurang baik."
"Ketika seseorang membersihkan klenteng dan patung, membutuhkan kekhusyukan—konsentrasi dengan kebersihan pikiran," dia menambahkan. "Agama [yang ikut memandikan patung] mungkin beda-beda, tetapi makna kebersihan itu untuk semuanya. Tinggal dimaknai oleh agamanya masing-masing."
Klenteng ini telah diresmikan sebagai cagar budaya tahun 2011. Karena di dalamnya memiliki tempat ziarah bagi banyak kalangan, Pulo Geulis menjadi kampung wisata etnik sejak 2018.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR