Nationalgeographic.co.id—Dampak jangka panjang dari perubahan iklim adalah kepunahan massal bagi banyak spesies di muka Bumi. Semua makhluk harus beradaptasi menghadapi tantangannya masing-masing demi kelangsungannya.
Demi mempertahankan diri, semua spesies akan mengikuti teori Charles Darwin, seleksi alam. Mereka yang memiliki kemampuan bertahan hidup, akan selamat. Sementara yang lemah, akan punah akibat dampak perubahan iklim yang sangat kompleks.
Lantas, hewan mana yang akan menjadi "sang juara" dari "babak eliminasi" besar-besaran yang disebabkan manusia ini?
Untuk mengetahui itu, Giovanni Strona dari Faculty of Biological and Environmental Sciences, University of Helsinki, Swedia, memimpin penelitian tentang kemampuan bertahan hidup dari banyak hewan. Penelitiannya dipublikasikan di jurnal Science Advances 16 Desember 2022 berjudul "Coextinctions dominate future vertebrate losses from climate and land use change".
Sulit sebenarnya untuk mengetahui siapa pemenang tersisa setelah perubahan iklim benar-benar terasa. Pasalnya, semua hewan terhubung karena memiliki simbiosis yang dibutuhkan untuk menopang kehidupannya.
Dalam studinya, Strona dan tim mengungkapkan bahwa skenario emisi menengah, Bumi akan kehilangan rata-rata 20 persen keanekaragaman hayati di seluruh dunia di akhir abad ini. Pada skenario pemanasan terburuk, kerugiannya meningkat hampir 30 persen.
Strona baru-baru ini juga menerbitkan bukunya di Springer berjudul "Hidden Pathways to Extinction". Dia menyebutkan bahwa perubahan iklim punya dampak tidak langsung yang memengaruhi ekosistem.
Semua spesies pada akhirnya harus bertahan mencari sumber daya dan melindungi dirinya dari ancaman. Dalam tahap lebih besar ini dinamakan seleksi alam, yang juga berhubungan dengan evolusi.
Domino kepunahan
Pada studinya, dia membuat simulasi dengan membangun beberapa model Bumi yang menggabungkan lebih dari 15.000 rantai makanan. Semuanya terhubung dengan ribuan spesies vertebrata darat. Simulasinya menjelaskan pelbagai skenario perubahan iklim dan penggunaan lahan di ekosistem tersebut.
Hasil simulasinya menunjukkan, ketika perubahan iklim menyebabkan hilangnya satu spesies, rantai makanan, penyerbukan, dan fitur ekosistem lainnya terganggu. Mekanismenya speerti efek domino dalam, kepunahan bersama, sehingga mendorong sebagian besar keankeragaman spesies vertebrata darat menurun di bawah proyeksi perubahan iklim, ungkap para peneliti.
Namun, mengetahui mana yang lebih rentan sangat sulit, karena kompleksitas hubungan hewan dan ekosistem alami, ditambah ketidakpastian bagaimana perubahan iklim yang ekstrem bakal terjadi.
Yang pasti, melansir Live Science, Strona menjelaskan, "Apa yang kami temukan adalah bahwa spesies yang lebih besar dan spesies pada tingkat [rantai makanan] trofik yang tinggi akan lebih terpengaruh."
Dengan kata lain, hewan besar seperti gajah adalah yang akan punah duluan. Kemudian diikuti dengan jenis lebih kecil bertahap akan punah.
Laporan sebelumnya, mengungkapkan bahwa kepunahan gajah justru menjadi ancaman bagi perubahan iklim berikutnya. Bukan hanya dengan kacaunya rantai makanan, tetapi tanpa gajah, tingkat karbon di atmosfer akan meningkat.
"Gajah memakan banyak daun dari banyak pohon, dan mereka melakukan banyak kerusakan saat memakannya," kata Stephen Blake, asisten profesor biologi di Universitas Saint Louis yang menjadi salah satu penggarap penelitian dampak hilangnya gajah.
"Mereka akan melucuti daun dari pohon, merobek seluruh cabang atau mencabut pohon muda saat makan. Data kami menunjukkan sebagian besar kerusakan ini terjadi pada pohon dengan kepadatan karbon rendah. Jika ada banyak pohon dengan kepadatan karbon tinggi di sekitarnya, satu pesaing berkurang, dieliminasi oleh gajah."
Sementara, yang punah lainnya bisa termasuk burung dan terumbu karang. Burung menjadi sukar beradaptasi dan beradaptasi, masa depannya menjadi tidak pasti. Penyusutan terumbu karang masih berlanjut. Mamalia kecil seperti kelelawar dan cecurut "berubah bentuk" dari generasi ke generasinya akibat perubahan iklim.
Dan pemenangnya adalah...
Tardigrada atau beruang air mungkin adalah pemenangnya, Strona berpendapat. Dia telah teruji selalu selamat di lingkungan terburuk di alam, bahkan di luar angkasa. "Tardigrade sendiri sangat tahan, tetapi mereka membutuhkan spesies lain untuk bertahan hidup," terangnya.
Beruang air adalah spesies unik yang bisa selamat. Masalah yang ia hadapi adalah kehilangan kebutuhan seluruh ekosistem dan jaringan interaksi kompleks yang berguna untuk mempertahankan kehidupan di Bumi.
Meski demikian, ukurannya sangat kecil. Panjang tubuh dewasanya adalah 1,5 milimeter, dan larvanya hanya 0,05 milimeter--hanya bisa dilihat dengan mikroskop.
Bumi sudah mengalami lima kali kepunahan massal dalam sejarahnya. Butuh ribuan hingga jutaan tahun untuk evolusi kembali membawa kehidupan yang lengkap. Kepunahan terakhir membuat populasi spesies yang menapakan kaki di Bumi punya ukuran lebih kecil dari sebelumnya.
Baca Juga: Ada Kemungkinan Ancaman pada Lapisan Ozon karena Letusan Hunga Tonga
Baca Juga: Kerang dan Sedimen Kuno Memberi Petunjuk Kepunahan Masa Lalu Bumi
Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Status 'Negara Kepulauan' Indonesia
Baca Juga: Naik Satu Derajat Celsius Iklim Saja Berdampak Pada Ragam Spesies
Mungkinkah babak kepunahan akibat perubahan iklim yang disebabkan manusia, menyebabkan spesies yang tersisa hanya berukuran mikroskopis?
Yang jelas, para ahli menyerukan, alih-alih menggantungkan harapan kita pada beberapa spesies yang tangguh untuk bertahan hidup di bawah perubahan iklim, kita perlu melindungi seluruh ekosistem. Artinya, kita harus memperlambat pemanasan dengan membatasi konsumsi bahan bakar fosil, membatasi perusakan habitat, dan mengurangi dampak manusia lainnya terhadap satwa liar.
"Persepsi saya adalah bahwa akan ada lebih banyak pecundang daripada pemenang"—dan pada akhirnya, pecundang itu bisa termasuk kita (manusia)," tambah Strona.
Source | : | Live Science,National Geographic Indonesia,Springer Link,Science Advances |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR