Nationalgeographic.co.id—Rabu malam 1 Februari 2023 ini langit kita 'kedatangan tamu' yang jauh. Dia adalah komet C/2022 E3 (ZTF) yang muncul 50.000 tahun sekali dari awan Oort. Melalui media sosialnya, Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, komet ini hanya akan melintas satu kali dalam seumur hidup, dan bisa dilihat tanpa alat bantu.
Selama perigee atau titik terdekatnya dengan Bumi, ia akan mencapai jarak sekitar 42 juta kilometer. Jarak ini setara 28 persen antara Bumi dan matahari.
Di Indonesia, komet ini akan terlihat saat pada titik terdekatnya dengan Bumi. LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) menyebutkan, komet C/2022 E3 ZTF dapat disaksikan pada 1 Februari pukul 18.30 hingga 2 Februari pukul 2.30 waktu setempat--berdasarkan zona waktu masing-masing di Indonesia (WIB, WITA, dan WIT).
Bagi masyarakat yang ingin mengabadikan kedatangan 'tamu langit malam' ini, bisa mengarahkan kameranya ke arah utara. Komet akan terlihat di dekat konsetlasi Camelopardalis.
"Komet ini tidak dapat ditentukan periodenya meskipun gerak harian (daily motion)-nya dapat ditentukan. hal ini karena bentuk orbit yang hiperbola sehingga terdapat dua titik lenyap yang letaknya berada di jarak tak berhingga," terang LAPAN.
Andi Pangerang, Peneliti Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN, lewat sebuah rilis Edukasi Sains Antariksa BRIN menyebutkan, komet ini telah mencapai titik terdekatnya dengan matahari (perihelion) pada 13 Januari kemarin pukul 06.48 WIB dengan jarak 166.387.000 kilometer.
"Sayangnya, saat mencapai perihelion, komet ini bermagnitudo +6,72 sehingga belum bisa diamati dengan mata telanjang," ungkap Andi. Meski demikian, sebenarnya komet ini sudah bisa dilihat di daerah pedalaman dan pedesaan sejak 16 Januari lalu pukul 2.30 hingga 5.30 waktu setempat di arah Timur Laut dekat konsetlasi Bootes.
29 Januari, komet ini terbit sekitar tengah malam di arah Utara dekat konstelasi Ursa Mayor. Dia akan terlihat dua kali, di waktu yang dekat: 23.00 waktu setempat di tanggal 29 Januari, dan keesokannya pada pukul 21.00 di dekat konstelasi Draco. Kemudian dilanjutkan yang lebih jelas pada 31 Januari pukul 19.00 dan 1 Februari di dekat konsetlasi Camelopardalis.
"Komet ini dapat diamati tanpa menggunakan alat bantu optik untuk daerah pedalaman dan pedesaan hingga 13 Februari, sejak pukul 18.30 hingga 01.00 waktu setempat dari arah Utara hingga Barat dekat konstelasi Taurus," terang Andi. "Komet berkulminasi di daerah Utara pada pukul 19.00 waktu setempat dengan ketinggian 64,2 derajat untuk DKI Jakarta dan sekitarnya."
Melansir Space.com, Michael Kueppers ilmuwan studi Comet Interceptor ESA mengatakan, "komet ZET, komet paling terang di langit saat ini, sebenarnya sejauh ini merupakan target virtual yang menjanjikan untuk Comet Interceptor."
Baca Juga: Astronom Mengungkap Bagaimana Medan Mulus Berkembang pada Komet Es
Baca Juga: Bagaimana Orang Romawi Mengartikan Kemunculan Komet dan Meteor?
Baca Juga: Selidik Logam Mulia: Dari Manakah Asal Emas Melimpah di Bumi Saat Ini?
Baca Juga: Borisov Tidak Langka, Ada Banyak Komet Antarbintang di Awan Oort
Komet ini ditemukan pada 2 Maret 2022 oleh Zwicky Transient Facility (ZTF), fasilitas survei astronomi berbasis di California, AS. Warna komet tersebut hijau cerah di sekitar intinya karena pengaruh sinar matahari terhadap molekul-molekul yang terkandungnya, seperti karbon diatomik dan sianogen.
Kueppers mengatakan, tim ilmuwan telah mempersiapkan misi dengan mengevaluasi 'target virtual'. Yakni, target yang merupakan objek untuk dipertimbangklan oleh tim Comet Interceptor untuk dikunjungi jika wahana milik mereka berada di luar angkasa.
Sebenarnya, komet apa pun yang bisa dicapai, termasuk C/2022 E3 ZTF untuk diselidiki menyeluruh walau waktunya singkat. Para ilmuwan akan memeriksanya lewat pesawat ruang angkasa utama dan dua probe yang lebih kecil.
Karena orbit komet C/2022 E3 (ZTF) adalah 50.000 tahun, artinya ia terakhir kali terlihat di Bumi berada di tengah periode glasial terakhir, atau zaman es. Masa itu adalah ketika Neanderthal masih ada di Bumi, dan berbagi leluhur dengan kita, Homo sapiens pertama.
Source | : | space.com,LAPAN,Brin.go.id |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR