Trauma yang ditimbulkannya kemudian mewarisi sejumlah karya sastra dan film yang mulai bermunculan pada abad ke-20, hingga karya-karya ini dipuja sebagai lambang budaya Bulgaria.
Kenyataannya, memasuki abad ke-20, hal yang jauh lebih traumatis lagi dialami bagi minoritas Turki dan kalangan Muslim Bulgaria.
Komunitas Muslim di Bulgaria menjadi sasaran dalam pola diskriminasi pemerintah Bulgaria akibat trauma yang ditimbulkan. Lebih mengerikan lagi, muncul undang-undang anti-Turki yang paling agresif dalam sejarah Bulgaria.
Baca Juga: Enam Penyebab Jatuhnya Kekaisaran Ottoman: Dilemahkan oleh Pihak Luar?
Baca Juga: Puja-puji untuk Ottoman, Kenapa Banyak Orang Mau Kembali ke Era Itu?
Baca Juga: Disebut Kiamat Sugra, Dahsyatnya Gempa 1509 di Era Kekaisaran Ottoman
Baca Juga: Peran Wanita Kekaisaran Ottoman di Masa Pemerintahan Suleiman Agung
Pada tahun 1984-1985, Republik Rakyat Bulgaria memberlakukan perubahan nama pada Muslim berbahasa Turki di seluruh negeri. Lebih dari 800.000 orang harus mengganti nama Muslim mereka dengan nama Slavia 'tradisional'.
Baru-baru ini, akademisi Bulgaria menyerukan cara berpikir baru tentang sejarah, baik Ottoman maupun sosialis Bulgaria. Mereka menuntut agar rakyatnya memperumit, bukan menyederhanakan, pemahaman masyarakat tentang sejarah bangsanya.
Titik terpentingnya adalah menjauh dari gagasan esensialis tentang nasionalisme dan kesinambungan identitas Bulgaria dari Abad Pertengahan hingga saat ini. Dari landasan ini, rakyat dapat membangun ruang untuk mempertimbangkan kembali persepsi pemerintahan Ottoman secara konstruktif.
Akan tetapi, jika membaca dan menonton sejarah traumatik mereka adalah sesuatu yang harus dilalui, negara itu harus menempuh jalan panjang sebelum mengatasi trauma masa lalu, apalagi menghadapi trauma kemarin.
Source | : | History Today |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR