Nationalgeographic.co.id—Bulgaria memiliki populasi minoritas Muslim terbesar di negara mana pun di Uni Eropa. Hanya sekitar 15% dari sekitar tujuh juta warganya diidentifikasi sebagai Muslim.
Kelompok ini beragam etnis—Bulgaria, Roma, bahkan komunitas kecil Gagauz—tetapi sebagian besar didominasi oleh etnis yang disebut 'Turki Bulgarians'.
Kehadiran mereka di Bulgaria saat ini membangkitkan sejarah panjang dan ketidaknyamanan pemerintahan Ottoman di Balkan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana periode Turki sampai ke Bulgaria dikenang.
Utsmaniyah atau Ottoman tiba pertama kali di Balkan pada tahun 1354. Kemudian, memasuki abad ke-15, mereka mendominasi sebagian besar wilayah tersebut, dari Peloponnese hingga Danube.
"Pada abad ke-19, setelah hampir 500 tahun pemerintahan Ottoman, demam nasionalis menyebar ke seluruh Balkan," tulis Mirela Ivanova kepada History Today dalam artikelnya berjudul Bulgaria’s Traumatic Revival terbitan 2021.
Sastra memainkan peran penting dalam era 'Kebangkitan Nasional' Bulgaria. Dalam karya-karya yang dihasilkan pada era ini, identitas 'Ottoman', 'Turki' dan 'Muslim' dikelompokkan menjadi satu.
Hal ini terbukti menjadi salah satu warisan abadi gerakan ini, karena partai-partai sayap kanan Bulgaria terus menggunakan populasi Muslim penutur bahasa Turki di negara itu sebagai pendukung, dan pengingat terus-menerus. Inti dari identifikasi generik ini adalah perasaan trauma yang tertanam dalam.
"Ekspresi trauma ini terlihat jelas dalam puisi-puisi kebangkitan nasional abad ke-19, yang menganggap periode pemerintahan Ottoman sebagai robstvo, secara harfiah berarti 'perbudakan'," imbuh Mirela.
Selama abad ke-20 dan ke-21, ingatan akan trauma ini telah menyebar dan mengeras, kini menempati tempat sentral dalam identitas nasional Bulgaria.
Pada tahun 1964, Anton Donchev menulis Time of Parting, sebuah novel sejarah yang memproklamirkan diri pada tahun 1668, jauh sebelum kebangkitan nasional. Buku itu menceritakan kedatangan seorang enichar, seorang pejabat tinggi Ottoman, di sebuah desa kecil di barat daya Bulgaria.
Karaibrahim, nama seorang enichar tersebut. Ia sangat ingin memaksakan daulat Islam di desa tersebut dengan membakar sebagian besar desa. Seketika perang berkecamuk, membuat penduduk desa banyak yang bersembunyi di pegunungan.
Banyak yang dibunuh di depan umum, setelah menolak untuk pindah agama. Peristiwa ini telah menjadi trauma nasional hingga membangkitkan era kebangkitan di sana. Sastra nasionalis abad ke-19 sejatinya lahir dari perjuangan politik dengan rezim kekaisaran Ottoman, yang didefinisikan sebagai perasaan represi dan kesulitan.
Trauma yang ditimbulkannya kemudian mewarisi sejumlah karya sastra dan film yang mulai bermunculan pada abad ke-20, hingga karya-karya ini dipuja sebagai lambang budaya Bulgaria.
Kenyataannya, memasuki abad ke-20, hal yang jauh lebih traumatis lagi dialami bagi minoritas Turki dan kalangan Muslim Bulgaria.
Komunitas Muslim di Bulgaria menjadi sasaran dalam pola diskriminasi pemerintah Bulgaria akibat trauma yang ditimbulkan. Lebih mengerikan lagi, muncul undang-undang anti-Turki yang paling agresif dalam sejarah Bulgaria.
Baca Juga: Enam Penyebab Jatuhnya Kekaisaran Ottoman: Dilemahkan oleh Pihak Luar?
Baca Juga: Puja-puji untuk Ottoman, Kenapa Banyak Orang Mau Kembali ke Era Itu?
Baca Juga: Disebut Kiamat Sugra, Dahsyatnya Gempa 1509 di Era Kekaisaran Ottoman
Baca Juga: Peran Wanita Kekaisaran Ottoman di Masa Pemerintahan Suleiman Agung
Pada tahun 1984-1985, Republik Rakyat Bulgaria memberlakukan perubahan nama pada Muslim berbahasa Turki di seluruh negeri. Lebih dari 800.000 orang harus mengganti nama Muslim mereka dengan nama Slavia 'tradisional'.
Baru-baru ini, akademisi Bulgaria menyerukan cara berpikir baru tentang sejarah, baik Ottoman maupun sosialis Bulgaria. Mereka menuntut agar rakyatnya memperumit, bukan menyederhanakan, pemahaman masyarakat tentang sejarah bangsanya.
Titik terpentingnya adalah menjauh dari gagasan esensialis tentang nasionalisme dan kesinambungan identitas Bulgaria dari Abad Pertengahan hingga saat ini. Dari landasan ini, rakyat dapat membangun ruang untuk mempertimbangkan kembali persepsi pemerintahan Ottoman secara konstruktif.
Akan tetapi, jika membaca dan menonton sejarah traumatik mereka adalah sesuatu yang harus dilalui, negara itu harus menempuh jalan panjang sebelum mengatasi trauma masa lalu, apalagi menghadapi trauma kemarin.
Source | : | History Today |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR