Pada saat yang sama, teknologi untuk mengobati penyakit menular, penggunaan pupuk dan irigasi yang ekstensif juga diimpor dari Barat.
Pemberontakan Teratai Putih
Sebagai hasil dari peningkatan teknologi tersebut, populasi meledak. Jumlah penduduk meningkat dari 178 juta pada tahun 1749 menjadi hampir 359 juta pada tahun 1811. Dan pada tahun 1851, populasi bahkan mendekati 432 juta orang.
Awalnya, petani di daerah yang berdekatan dengan Mongolia bekerja untuk orang Mongol. Namun akhirnya, orang-orang di provinsi Hubei dan Hunan yang terlalu padat mengalir keluar dan masuk ke wilayah. Segera pendatang baru mulai melebihi jumlah penduduk asli dan terjadi konflik atas kepemimpinan lokal.
Pemberontakan Teratai Putih dimulai ketika sekelompok besar orang Tionghoa melakukan kerusuhan pada tahun 1794. Akhirnya, pemberontakan tersebut ditumpas oleh elite Qing. Tetapi organisasi Teratai Putih tetap ada dan menjadi pelopor penggulingan Dinasti Qing nantinya.
Pemberontakan ini menandai titik balik dalam sejarah Dinasti Qing. Kekuasaan Qing melemah dan kemakmuran berkurang pada abad ke-19.
Salah perhitungan saat bernegosiasi dengan pihak asing
Faktor utama lain yang berkontribusi terhadap kejatuhan Dinasti Qing adalah imperialisme Eropa. Selain itu juga terjadi kesalahan perhitungan yang parah atas kekuasaan dan kekejaman Inggris.
Pada pertengahan abad ke-19, Dinasti Qing telah berkuasa selama lebih dari satu abad. Para elite merasa memiliki mandat surgawi untuk tetap berkuasa. Salah satu alat yang mereka gunakan untuk tetap berkuasa adalah pembatasan perdagangan yang sangat ketat. Qing percaya bahwa cara untuk menghindari kesalahan pemberontakan Teratai Putih adalah dengan menekan pengaruh asing.
Inggris di bawah Ratu Victoria adalah pasar besar untuk teh dari Tiongkok. Namun, Qing menolak untuk terlibat dalam negosiasi perdagangan, malah menuntut Inggris membayar teh dengan emas dan perak.
Sebaliknya, Inggris memulai perdagangan opium ilegal yang menguntungkan, dibawa dari India ke Kanton. Otoritas Tiongkok membakar 20.000 bal opium dan Inggris membalas dengan invasi dahsyat ke daratan Tiongkok. Pertempuran itu dikenal dengan sebutan Perang Candu yang berlangsung dua kali, tahun 1839–1842 dan 1856–1860.
Tidak siap menghadapi serangan Inggris, Dinasti Qing kalah. Akibatnya, Inggris memberlakukan perjanjian yang tidak setara dan menguasai wilayah Hong Kong. Seakan masih belum cukup, kekaisaran juga harus membayar jutaan pound perak untuk mengompensasi Inggris atas opium yang hilang.
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR