Nationalgeographic.co.id—Lempeng-lempeng bumi terus bergerak. Oleh karena itu, bentuk permukaan bumi tidak akan pernah final selama planet ini ada.
Kemunculan gunung baru adalah salah satu contoh efek dari pergerakan lempeng-lempeng bumi. Salah satu gunung baru yang menyedot perhatian publik Indonesia adalah gunung di Pacitan.
Baru-baru ini publik dihebohkan oleh penemuan gunung bawah laut di perairan selatan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Gunung ini ditemukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) saat sedang melakukan survei Landas Kontinen Ekstensial di wilayah tersebut.
Gunung baru ini menarik perhatian publik sehingga banyak pakar terkait gunung api angkat bicara mengenai kemunculan gunung api ini. Mirzam Abdurrachman, Dosen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), juga turut memberi komentar mengenai fenomena ini.
Mirzam menjelaskan gunung api yang berada di Pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan subduksi lempeng-lempeng yang ada di selatannya. Subduksi dimulai kurang lebih sejak 55 juta tahun lalu.
Subduksi ini menghasilkan magmatisme yang kemudian muncul ke permukaan sebagai gunung-gunung api yang terbentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur.
Secara sederhana, orang-orang kemungkinan bakal berpikir bahwa deretan gunung api akan selalu memanjang dari barat ke timur. Namun, distribusi gunung api tersebut tidak sepenuhnya membentuk garis lurus.
Hal ini disebabkan oleh kompleksitas dari kondisi zona subduksi di selatan Pulau Jawa. Kompleksitas ini berasal dari beberapa hal, seperti laju subduksi yang mencapai 6,7 – 7 cm/tahun, perbedaan umur lempeng yang memasuki 3 bagian Pulau Jawa, hingga perbedaan komposisi kerak lapisan terluar Pulau Jawa.
Selain itu, ada hal menarik lainnya yang disebut roo rise atau oceanic plateu dengan dimensi luas sekitar 25.000 kilometer persegi dengan ketebalan rata-rata 15 kilometer. Hal tersebut menyebabkan palung mundur ke arah utara sejauh 60 kilometer.
Mundurnya palung ini merupakan akibat dari masuknya roo rise ke Palung Jawa sejak 1,1 atau 1,3 juta tahun lalu. Selain itu, masuknya roo rise ke palung menimbulkan gangguan yang memunculkan tonjolan dari Jatim hinnga selatan Lombok yang diinterpretasikan sebagai gunung bawah laut.
“Nah, jadi yang sedang hangat dibicarain itu adalah nomor 4,” ujar Mirzam menunjuk gambar tonjolan di selatan lepas pantai Pacitan. Sebenarnya terdapat lebih dari satu tonjolan dan jika diperhatikan lebih teliti terdapat 5-10 tonjolan.
Baca Juga: Mekanisme Munculnya Pulau Baru di Tanimbar setelah Terjadinya Gempa
Baca Juga: Misteri Suku Shihuh yang Terisolasi di Gunung: Apakah Orang Arab Asli?
Baca Juga: Setelah 38 Tahun, Gunung Api Aktif Terbesar Sedunia Mulai Meletus Lagi
Yang mengejutkan, Mirzam mengungkapkan bahwa gunung api ini sudah diidentifikasi sejak lama. “Sebenarnya tonjolan-tonjolan ini udah teridentifikasi sejak 2006 silam,” ujar Kaprodi Magister Doktor Teknik Geologi ITB itu, seperti dikutip dari laman .
Jadi, Mirzam menyimpulkan, kemunculan gunung api di selatan Pacitan ini merupakan efek kompleksitas zona subduksi di selatan. Mulai dari faktor komponen yang tidak homogen, perbedaan umur lempeng, dan roo rise yang mengganjal hingga timbulnya gangguan.
Jika dianalisis lebih dekat, sebagian slab yang bertemu lempeng di pulau Jawa akan menimbulkan fragmen roo rise yang naik (buoyant roo rise fragment). Slab adalah porsi dari lempeng tektonik yang menujam di batas subduksi.
Slba ini akan menimbulkan tonjolan dan sebagian slab masuk ke dalam. Sebagian slab yang masuk akan menentukan bahaya atau tidaknya gunung tersebut.
Mirzam memaparkan bahwa slab yang masuk di selatan Pacitan masih cukup dangkal, yakni hanya sedalam 10-15 kilometer. Hal ini menyebabkan potensi “gunung api” baru itu tidak seperti potensi gunung api yang aktif di Pulau Jawa pada umumnya.
“Slab yang masuk baru mulai meleleh itu bukan pada kedalaman 10-15 km. Ini bukan tempat yang ideal. Kedalaman ideal lempeng samudera meleleh pada kedalaman 120-180 km seperti gunung di Pulau Jawa lainnya,” bebernya.
Ciri-ciri yang menunjukkan gunung api seperti adanya panas merupakan akibat dari tumbukan dua buah lempeng di zona akresi.
“Jadi secara teoritis, harusnya itu posisinya bukan gunung api yang definitif kita pelajari, tapi ini morfologinya seperti kerucut gunung api, karena tadi adanya gangguan, panasnya dari collision tumbukan yang menghasilkan panas,” imbuhnya
Meskipun peluang gunung tersebut untuk meletus kecil, bencana nonvulkanik tetap harus diwaspadai. Gundukan tinggi ini bisa menjadi sesuatu yang tidak stabil dan mengakibatkan longsor di bawah laut. Jika volumenya besar, ini akan mengganggu kesetimbangan kolom air laut.
“Ketidakstabilan lereng bisa sangat terjadi jika terjadi seismic gap, hal ini juga di-state di paper (studi soal gunung) tersebut,” ujarnya. Untuk memantau agar kejadian ini bisa dihindari, dibutuhkan kolaborasi antar disiplin ilmu, tegas Mirzam.
Source | : | Institut Teknologi Bandung |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR